"Tatanan baru ini tidak membutuhkan para nabi dan para peramal dan para modernis tinggi dan jenis kharismatik, apakah diantara para pencipta budaya atau para politikusnya. Figur-figur semacam itu tidak lagi memegang kuasa atas berkat dan sihir bagi subyek-subyek dari sebuah perusahaan, kolektivasi, abad post-individualis; dalam hal ini, selamat tinggal bagi mereka dengan tanpa penyesalan. Terkutuklah Negara yang membutuhkan kaum jenius, para nabi, para Penulis Besar, atau dewa-dewa! - Frederic Jameson, 1991-
Majalah Tempo (Edisi 4-10 Februari 2013) melansir statistik pergerakan cepat jumlah pengakses internet.Â
Pada tahun 2002 jumlah pengakses baru mencapai 569 juta atau 9,1% dari total populasi penghuni bumi. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya naik bombastis menjadi 2,27 milyar atau sekitar 33% populasi dunia. Dalam rentang tahun yang sama, di Indonesia, di tahun 2002, pengakses internet hanyalah 4,5 juta dan pada tahun 2012 sudah menembus 55 juta pengguna.Â
Satu lagi keterangan penting: jika pada tahun 2002, lama akses internet berkisar 46menit per hari, maka pada 2012, orang menghabiskan 4 jam per hari. Wow!
Mari kita simak juga angka dari Yanuar Nugroho dan Sofie Syarif (2012) dalam riset mereka berjudul Beyond Click-Activism? New Media and Political Processes in Contemporary Indonesia tercatat telah melampaui 19,5 juta pengguna Twitter, lebih dari 5,3 juta blog, dan diatas 42,5 juta pengguna Facebook. Angka ini membuat Indonesia dijuluki sebagai ‘Twitter Nation and Facebook Country’ (!).
Saya tidak berniat memberi tafsir politik atas angka-angka pengguna internet di atas. Kalau hendak tahu soal 'aksi politik  online', riset Yanuar Nugroho dan Sofie Syarif lebih kompeten menjawabnya. Yang hendak saya lakukan hanyalah mengajak Kompasioner yang budiman melihat dua model perilaku, katakanlah begitu. Dua tipikal perilaku yang hidup bersamaan, walau berseberangan, bahkan bertentangan.
Tentu saja himpunan angka-angka bukan semata tampak puncak dari gunung es kenyataan dunia internet. Angka-angka itu juga cermin dari meleburnya identitas real para pengakses oleh jagad Cyberspace, yakni meleburnya posisi sosial, afiliasi kelas, rentang usia dan kelompok selera, juga kecenderungan nilai-nilai mereka misalnya.
Tapi, apakah mereka benar-benar lebur oleh kemayaan interaksi? Saya kira tidak. Ada konflik yang lembut dan dinamis disana. Kita mungkin bisa melacaknya dalam sejarah filsafat Barat.
Cerita tentang Netizen dan Nomadis
Riwayat filsafat menceritakan proses ‘penghancuran Subyek’. Subyek yang dicari-bentuk-lahir-besarkan melalui kurun waktu berabad-abad lamanya oleh Modernisme.
Kini malah hendak dihancurkan oleh anak kandung sendiri : Posmodernisme. Anak kandung yang penuh semangat bekerja untuk membunuhnya, menikam jantung ibunya sendiri. Anak yang hidup dari kematian ibunya, tragis. Posmodernisme, dengan dada membusung, mewartakan dunia manusia tak lebih dari kurungan hyper-realitas, produksi kedangkalan, dan pemuasaan hasrat juga semesta perayaan.Â
Anak kandung yang lahir dari bidan-bidan seperti Foucault, Baudrillard, juga Derrida.
Lazimnya persaingan pengaruh, Modernisme yang seperti nenek tua kaya raya berpenyakit kanker, ia akan selalu memiliki penyelamatnya. Karena itu politik gagasan akan selalu terjadi dengan para pembela posisi Posmodernisme. Secara ‘empiris’, pantulannya terlihat dalam dunia sosial media.
Modernisme mewujudkan kehadirannya pada sosok Netizen yang cenderung rasional bertujuan, menggunakan sosial media secara efektif-kualitatif, ‘politis’, dan seterusnya. Sedangkan kutub Posmodernis melahirkan jenis, katakanlah, Nomadis yang berinternet secara suka-suka, merayakan pencapaian kesenangan, pemuja ritus-ritus narsistik, dan seterusnya.