Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pergulatan Netizen-Nomadis; Bagaimanakah Sejarah Akan Ditulis (?)

19 Februari 2013   19:39 Diperbarui: 30 November 2018   21:11 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: The Wire

"Tatanan baru ini tidak membutuhkan para nabi dan para peramal dan para modernis tinggi dan jenis kharismatik, apakah diantara para pencipta budaya atau para politikusnya. Figur-figur semacam itu tidak lagi memegang kuasa atas berkat dan sihir bagi subyek-subyek dari sebuah perusahaan, kolektivasi, abad post-individualis; dalam hal ini, selamat tinggal bagi mereka dengan tanpa penyesalan. Terkutuklah Negara yang membutuhkan kaum jenius, para nabi, para Penulis Besar, atau dewa-dewa! - Frederic Jameson, 1991-

Majalah Tempo (Edisi 4-10 Februari 2013) melansir statistik pergerakan cepat jumlah pengakses internet. 

Pada tahun 2002 jumlah pengakses baru mencapai 569 juta atau 9,1% dari total populasi penghuni bumi. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya naik bombastis menjadi 2,27 milyar atau sekitar 33% populasi dunia. Dalam rentang tahun yang sama, di Indonesia, di tahun 2002, pengakses internet hanyalah 4,5 juta dan pada tahun 2012 sudah menembus 55 juta pengguna. 

Satu lagi keterangan penting: jika pada tahun 2002, lama akses internet berkisar 46menit per hari, maka pada 2012, orang menghabiskan 4 jam per hari. Wow!

Mari kita simak juga angka dari Yanuar Nugroho dan Sofie Syarif (2012) dalam riset mereka berjudul Beyond Click-Activism? New Media and Political Processes in Contemporary Indonesia tercatat telah melampaui 19,5 juta pengguna Twitter, lebih dari 5,3 juta blog, dan diatas 42,5 juta pengguna Facebook. Angka ini membuat Indonesia dijuluki sebagai ‘Twitter Nation and Facebook Country’ (!).

Saya tidak berniat memberi tafsir politik atas angka-angka pengguna internet di atas. Kalau hendak tahu soal 'aksi politik  online', riset Yanuar Nugroho dan Sofie Syarif lebih kompeten menjawabnya. Yang hendak saya lakukan hanyalah mengajak Kompasioner yang budiman melihat dua model perilaku, katakanlah begitu. Dua tipikal perilaku yang hidup bersamaan, walau berseberangan, bahkan bertentangan.

Tentu saja himpunan angka-angka bukan semata tampak puncak dari gunung es kenyataan dunia internet. Angka-angka itu juga cermin dari meleburnya identitas real para pengakses oleh jagad Cyberspace, yakni meleburnya posisi sosial, afiliasi kelas, rentang usia dan kelompok selera, juga kecenderungan nilai-nilai mereka misalnya.

Tapi, apakah mereka benar-benar lebur oleh kemayaan interaksi? Saya kira tidak. Ada konflik yang lembut dan dinamis disana. Kita mungkin bisa melacaknya dalam sejarah filsafat Barat.

Cerita tentang Netizen dan Nomadis

Riwayat filsafat menceritakan proses ‘penghancuran Subyek’. Subyek yang dicari-bentuk-lahir-besarkan melalui kurun waktu berabad-abad lamanya oleh Modernisme.

Kini malah hendak dihancurkan oleh anak kandung sendiri : Posmodernisme. Anak kandung yang penuh semangat bekerja untuk membunuhnya, menikam jantung ibunya sendiri. Anak yang hidup dari kematian ibunya, tragis. Posmodernisme, dengan dada membusung, mewartakan dunia manusia tak lebih dari kurungan hyper-realitas, produksi kedangkalan, dan pemuasaan hasrat juga semesta perayaan. 

Anak kandung yang lahir dari bidan-bidan seperti Foucault, Baudrillard, juga Derrida.

Lazimnya persaingan pengaruh, Modernisme yang seperti nenek tua kaya raya berpenyakit kanker, ia akan selalu memiliki penyelamatnya. Karena itu politik gagasan akan selalu terjadi dengan para pembela posisi Posmodernisme. Secara ‘empiris’, pantulannya terlihat dalam dunia sosial media.

Modernisme mewujudkan kehadirannya pada sosok Netizen yang cenderung rasional bertujuan, menggunakan sosial media secara efektif-kualitatif, ‘politis’, dan seterusnya. Sedangkan kutub Posmodernis melahirkan jenis, katakanlah, Nomadis yang berinternet secara suka-suka, merayakan pencapaian kesenangan, pemuja ritus-ritus narsistik, dan seterusnya.

Sederhananya begini.

Dalam pertukaran makna di Twitt Land, sebagai contoh, setiap pengguna adalah produsen sekaligus konsumen dari makna-makna yang berseliweran suka-suka. Jangankan mengkritik membabi buta, menyusun fitnah pun biasa-biasa saja. Namun ada juga jenis pengguna yang hati-hati, menimbang aspek manfaat, selektif, dan menjaga twitt-nya.

Mereka hidup bersama, bertetangga dan memang seharusnya tak ada lagi para pengkhotbat moral yang bisa memvonis (‘pusat yang sensorik/panopticon’), tak ada lagi ideolog yang terus menerus mewartakan tata dunia baru (pusat kebenaran/narasi besar) yang wajib diikuti.

Dalam Twitt Land, pembentukan makna tarik menarik dalam yang emosional dan rasional sekaligus virtual.

Dalam tata dunia virtual ini, yang terjadi adalah ketegangan yang lembut dan dinamis antara pilihan yang berusaha disiplin pada ruang-ruang pemuasaan hasrat, perayaan kesenangan, pemenuhan gairah pada kultus budaya pop, dan kawan-kawannya (Nomadis) versus pilihan yang konsisten ‘menjaga sikap zuhud pada rasionalitas, kritisi, ‘politis’, dan menjaga terang subyektivitas beserta kawan-kawannya (Netizen).

Netizen dan Nomadis tak pernah bisa saling meniadakan satu sama lain.

Tak ada perang Puputan diantara keduanya. Kehadiran serentak dari keduanya justru terus dibutuhkan sebagai pendonor bagi denyut jantung Cyber World. Kehadiran keduanya juga Cyber World selalu sebagai ‘teks-tanpa-pusat tafsir’ : yang bebas diisi apa saja, ditafsirkan kemana saja, bebas merdeka; semacam the Anarchy of Cyberspace. Jika ada usaha intelektual mencoba membingkai ulang teks-tanpa-pusat ini secara total-terpadu maka segera bisa dipastikan akan melahirkan perlawanan baliknya sendiri.

Perlu digarisbawahi bahwa pada praktik nyatanya, batas antara Netizen dan Nomadis tipis, saling bertukar dalam satu si tubuh pengguna. Ia lebih bekerja sebagai modus atau cara untuk hadir dalam Twitt Land, tapi bukan pantulan telanjang dari manusia kongkrit dibelakangnya. Makanya tak perlu kaget jika kita bisa tiba-tiba rasional-kritis, lalu seketika menjadi emosional seiring pasang surut gelombang lini masa (Timeline).

Barangkali inilah sejarah yang hendak ditulis nanti. Sejarah pergulatan Netizen dan Nomadis. Sejarah yang bertutur tanpa penganjur nasionalisme yang keras hati seperti Soekarno.

Semoga berguna sebagai bacaan. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun