Sederhananya begini.
Dalam pertukaran makna di Twitt Land, sebagai contoh, setiap pengguna adalah produsen sekaligus konsumen dari makna-makna yang berseliweran suka-suka. Jangankan mengkritik membabi buta, menyusun fitnah pun biasa-biasa saja. Namun ada juga jenis pengguna yang hati-hati, menimbang aspek manfaat, selektif, dan menjaga twitt-nya.
Mereka hidup bersama, bertetangga dan memang seharusnya tak ada lagi para pengkhotbat moral yang bisa memvonis (‘pusat yang sensorik/panopticon’), tak ada lagi ideolog yang terus menerus mewartakan tata dunia baru (pusat kebenaran/narasi besar) yang wajib diikuti.
Dalam Twitt Land, pembentukan makna tarik menarik dalam yang emosional dan rasional sekaligus virtual.
Dalam tata dunia virtual ini, yang terjadi adalah ketegangan yang lembut dan dinamis antara pilihan yang berusaha disiplin pada ruang-ruang pemuasaan hasrat, perayaan kesenangan, pemenuhan gairah pada kultus budaya pop, dan kawan-kawannya (Nomadis) versus pilihan yang konsisten ‘menjaga sikap zuhud pada rasionalitas, kritisi, ‘politis’, dan menjaga terang subyektivitas beserta kawan-kawannya (Netizen).
Netizen dan Nomadis tak pernah bisa saling meniadakan satu sama lain.
Tak ada perang Puputan diantara keduanya. Kehadiran serentak dari keduanya justru terus dibutuhkan sebagai pendonor bagi denyut jantung Cyber World. Kehadiran keduanya juga Cyber World selalu sebagai ‘teks-tanpa-pusat tafsir’ : yang bebas diisi apa saja, ditafsirkan kemana saja, bebas merdeka; semacam the Anarchy of Cyberspace. Jika ada usaha intelektual mencoba membingkai ulang teks-tanpa-pusat ini secara total-terpadu maka segera bisa dipastikan akan melahirkan perlawanan baliknya sendiri.
Perlu digarisbawahi bahwa pada praktik nyatanya, batas antara Netizen dan Nomadis tipis, saling bertukar dalam satu si tubuh pengguna. Ia lebih bekerja sebagai modus atau cara untuk hadir dalam Twitt Land, tapi bukan pantulan telanjang dari manusia kongkrit dibelakangnya. Makanya tak perlu kaget jika kita bisa tiba-tiba rasional-kritis, lalu seketika menjadi emosional seiring pasang surut gelombang lini masa (Timeline).
Barangkali inilah sejarah yang hendak ditulis nanti. Sejarah pergulatan Netizen dan Nomadis. Sejarah yang bertutur tanpa penganjur nasionalisme yang keras hati seperti Soekarno.
Semoga berguna sebagai bacaan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H