Demokrasi bukanlah tujuan, ia tidak memiliki tujuan dalam dirinya sendiri. Demokrasi hanyalah cara, prosedur, atau tata kelola kekuasaan. Subyek utama demokrasi adalah rakyat, bukan mereka yang dipilih rakyat. Paling tidak pengertian ini bisa ditarik dari arti kata demos itu sendiri.
Sebagai cara, demokrasi tidak pernah sempurna. Dalam praktiknya yang berulang pun ia tidak akan ideal. Ratusan tahun dijalankan pun ia memiliki cacat. Disini bukan persoalan ia liberal atau tidak liberal, persoalannya adalah sejauh mana aspirasi demos itu bisa diwujudkan, bukan saja ketika pemilihan dilakukan, tapi yang tak kalah seriusnya adalah ketika kekuasaan dioperasikan dalam kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan sehari-hari.
Dalam negara-negara demokrasi modern, dengan sistem negara-bangsa dan bukan negara-kota, demokrasi mensyaratkan representasi (keterwakilan) karena faktor-faktor seperti perkembangan kultur dan kelembagaan demokrasi, demografi, cakupan geografi, kapasitas struktur ekonomi serta kelembagaan pendukung lainnya.
Ketika kita menghubungkan antara posisi Demos, demokrasi, dan representasi inilah, dalam konteks negara-bangsa modern dan bukan negara-kota, partai politik menjadi kelembagaan yang niscaya. Sebabnya adalah sederhana, tidak semua identitas di dalam demos itu bisa terlibat. Representasi memang tidak mudah, dalam negara-demokrasi modern, identitas politik yang sifatnya 'minoritas' seringkali tak memiliki ruang yang cukup untuk 'mengurusi' politik. Karena itu membutuhkan kelembagaan yang secara formil memperjuangkan multi-kepentingan dalam demos itu dalam wujud partai politik.
Walau kehadiran partai politik sebagai kelembagaan yang resmi dalam sistem demokrasi negara-bangsa tidak lantas bahwa ia akan menjadi pelaku representasi yang baik. Tak jarang ada partai-partai politik tertentu yang membangun dirinya dengan mengekslusi suara-suara yang dianggap bukan bagian dari 'tubuh ideologi' mereka. Bahkan mereka juga dihidupi oleh persekutuan kaum oligark dan dinasti yang selalu berwatak memperkaya diri dan mentotalisasi kontrolnya atas sumber daya ekonomi dan politik.
Pada titik ini, problem pilkada tidak langsung itu bukanlah sekadar partai politik sudah mensabotase hak untuk memilih pemimpin daerah secara prosedural. Kelakuan partai politik yang menyetujui pemilihan kepala daerah tidak langsung itu berimplikasi pada beberapa hal berikut yang menentukan nasib demos.
Pertama, mereka telah memotong langsung hubungannya dengan demos sebagai basis legitimasi, bukan sekedar konstituen musiman yang dibujuk-rayu ketika musim pemilu datang. Pada titik ini, partai-partai itu mengesankan bahwa keterikatan legitimasi hanya sebatas dalam pemilu, paska pemilu, tidak ada lagi ikatan-ikatan yang sifatnya etis atau ideologis.
Kedua, mereka seolah-olah memposisikan eksistensi dirinya lebih tinggi dari kedaulatan demos. Seolah-olah representasi mereka bersifat pemanen, langsung dan liner, dengan begitu titah penguasa dan petinggi partai seolah saja suara para pendukung mereka. Mereka mengabaikan fakta bahwa demos dan identitas yang hidup di dalamnya sangatlah cair dan mudah berpindah pilihan politik dalam seketika hitungan waktu.
Ketiga, dengan memutuskan demos dari proses politik dalam memilih pemimpin daerah mereka dan dipilih oleh partai, seolah-olah wakil-wakil partai itu adalah figur-figur ideal yang sudah pasti-otomatis akan menjalankan mandat demos, bukan sekedar mandat partainya. Ini seperti menawarkan utopia politik karena kita tahu sendiri bukan sedikit partai-partai hari ini gagal dalam kaderisasi dan menumbuhkan dirinya dalam jaringan oligarkis dan dinasti.
Keempat, generalisasi bahwa pemilihan kepala daerah langsung memakan biaya tinggi, menciptakan konflik horizontal dan menjadi katalisator bagi laku korupsi kepala daerah, dengan alasan utama : karena partisipasi langsung oleh demos adalah logika menyalahkan korban kalau bukan malah pengkhianatan politik yang telanjang. Selama ini, demos terus diminta untuk terlibat dalam memberi suara namun sangat sedikit menikmati manisnya kekuasaan yang berwatak melayani pemberi legitimasinya. Lalu sekarang disalahkan seolah-olah menjadi menjadi sebab tunggal dari menyeruaknya ekses negatif pemilihan kepala daerah langsung. Seolah bukan partai-partai itu yang brengsek dan tidak becus dalam membangun fungsi partai yang sesuai dengan kebutuhan demos.
Kelima, Â bahwa politik pada akhirnya, menurut mereka, hanyalah urusan orang-orang terpilih. Politik tidak boleh diserahkan pada khalayak ramai yang berhimpun dalam demos. Khalayak ramai selamanya hanyalah keriuhan yang bisu, tidak pernah bisa dewasa, mudah dibeli, dan hal-hal buruk lainnya. Logika pendidikan politik tidak relevan disini. Ada justifikasi paradigmatik seolah demos tidak pernah akan belajar dari proses-proses buruk yang mereka alami sendiri.
Keenam, secara berangsur-angsur, mereka tengah melakukan satu proses depolitisasi tanpa harus melahirkan struktur politik otoritarian. Untuk tahap awal, baru pada pemilu kepala daerah langsung. Sudah terbayang jika nanti DPRD memiliki kewenangan yang lebih besar, maka ruang untuk melahirkan figur-figur alternatif non partai yang kualifikatif namun teramputasi karena bukan bagian dari partai politik. Situasi ini bisa saja mengakibatkan kehidupan politik menjadi monolitik.
Paling tidak enam implikasi ini yang bisa diidentifikasi. Perkara fundamentalnya, sekali lagi, adalah relasi antara demos, demokrasi, problem representasi dan fungsi partai politik dalam rumah besar negara-bangsa modern. Pemilihan Kepala Daerah Tidak Langsung akan menciptakan ketidakseimbangan atau memelihara hubungan yang asimetris antara partai politik dan demos sebagai sumber legitimasi bagi representasi.
Disinilah, kurang lebih, kita melihat posisi demos yang terus mengalami pelemahan posisi tawarnya dihadapan partai politik dalam pengelolaan sumber daya kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H