'Apa itu ?', serempak dua kawannya bertanya.
'Sikat gigi. Merah warnanya kawan !', jawabnya lagi.
'Sssssst, diam', perintah sosok kurus lagi. Langkah-langkah bersepatu itu makin dekat.
'Kenapa sikat gigi ?'. Sejak kapan sikat gigi menjadi barang penting kaum progresif ?. Jangankan menggosok gigi, untuk mandi saja bisa dihitung dengan jari. Apalagi dalam kondisi seperti ini ketika represifitas memenuhi atmosfir politik.
'Aku memperolehnya dari seorang gadis. Aku bertemu dengannya di sebuah warung di pojok kali itu. Entah mengapa ini memberikan ini. Ia hanya berpesan, pakailah, agar senyummu selalu berani merekah dalam kondisi seberat apa pun!. Mungkin dia tahu kalau aku adalah anggota dari organisasi yang menentang pemerintahan hari ini', jelasnya setengah berbisik sambil tersenyum dan menunjukkan sikat gigi merah yang bulu sikatnya hanya tersisa setengah. 3 orang kawannya pun ikut tersenyum haru.
Ada benarnya pesan gadis itu, seberat apa pun kondisinya, senyum tak boleh pergi dari wajah kusut mereka yang sudah kekurangan makan dan istirahat dan dikejar-kejar seperti anjing yang kudis.
'Bersih boss !', lapor salah seorang yang turut dalam rombongan bersenjata lengkap dan bersepatu kepada pria yang bentakkannya bersaing dengan gemuruh guntur.
'Pastikan jika sudah benar-benar bersih. Hari ini harus selesai, besok kita akan berpindah lokasi pembersihan. Orang-orang yang membayar kita sudah gerah dengan manuver-manuver anak-anak muda itu!, perintahnya lagi.
Tak lama kemudian, desing peluru dan bau mesiu memenuhi udara yang basah. Rentetan tembakan dilepas membabi buta pada rumah panggung dan kolongnya. Pecahan kayu dan kaca berhamburan.
4 pemuda kurus itu menampung tajamnya peluru yang datang sebagai pemisah hidup dan cita-cita. 4 jasad tumbang bersimbah darah ke tanah yang becek. Wajah mereka tersenyum mengiringi perpisahan roh dari jasadnya.
Sikat gigi berwana merah itu tetap tergenggam di tangan salah satu diantara mereka. Sikat gigi merah, ia adalah prasasti dari kepergian tiga pemuda itu.