Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sikat Gigi Warna Merah

27 September 2014   05:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:20 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum banyak orang sadar jika voting itu awal dari kemunduran yang terus menerus dari kehidupan politik yang terbuka dan kompetitif. Inti politik makin dikuasai oleh aliansi yang mula-mula menjadi oposisi lalu secara bertahap bermutasi menjadi kekuatan status quo yang terus saja kokoh.

Segala anasir yang dipandang berbeda dihabisi, apalagi jika coba-coba menjadi penentang terbuka. Kebebasan dan kritik adalah ihwal yang haram. Rasionalitas dan diskursus adalah eksistensi yang wajib dimatikan.

***

'Kalau hari Sabtu ini, kita berempat akan menempuh takdir kematian, apa yang akan kau jadikan sebagai prasasti hidupmu kawan?', tanya salah satu di antara mereka berempat yang paling muda usianya.

'Aku tak memiliki apa-apa. Karya sosialku pun tak banyak kawan. Entah apa yang akan aku prasastikan, mungkin hanya monumen duka bagi ayah,ibu dan saudara-saudaraku', jawab sosok yang ditanya itu sambil menerawang.

'Kamu?', tanyanya lagi pada sosok yang dari tadi hanya diam menyimak.

'Aku sejak lahir tak memiliki keluarga kawan. Hidupku menumpang dari satu panti asuhan ke panti yang lain. Aku juga menumpang hidup dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Aku tak memiliki siapa pun yang bisa membaca prasasti kematianku. Lagi pula untuk apa ?!', jawabnya tersenyum mengembang.

'Kekuasaan yang totaliter lagi bengis akan memakan siapa saja yang mencoba berbeda apalagi menentang. Kalian bertiga ini siapa ?. Sepenting apa hidup kalian hingga memikirkan akan meninggalkan prasasti untuk generasi masa depan ?. Dasar lebay !, jawab ketus sosok kurus tinggi yang sepertinya bertindak sebagai pemimpin dari mereka berempat.

'Sisir semua area. Bersihkan !', suara bentakan itu terdengar lagi. Lalu bunyi sepatu bergegas. Kali ini, suara dan langkah sepatu yang bergegas terdengar lebih dekat dengan lokasi bersembunyian mereka berempat.

'Bersiaplah, mungkin kita akan berakhir hari ini', pesan si kurus.

'Oh iya. Kawan, aku tidak memiliki keluarga. Tapi aku punya sesuatu yang terus kubawa', ujar si pemuda yang hidupnya ditulis dari satu pesantren ke pesantren lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun