' Bersaksilah untuk mengabdi pada alam raya dan dirimu sendiri. Kita sudah terikat pada hutan ini, fungsi-fungsi kita memperkuat keberlanjutan kehidupan di ekosistem. Janganlah melampaui fungsi yang mengikatmu ke dalam keseimbangan dan kelestarian. Sekali kau disfungsi atau mal-fungsi, keseimbangan itu akan berubah menjadi chaos tanpa henti. Seperti ulah bodoh dan serakah mereka yang menggantungkan hidup pada akal saja!'.
'Kita adalah penumbuh benih yang baik. Bekerjalah terus seperti itu sebelum kemarau datang dan manusia dnegan perusahaan mereka membakar hutan lagi!', ucapnya meneruskan.
'Bapa, apakah kita akan abadi ?', tanya si anak kemudian.
Diam. Senyap. Hanya ada gerimis yang berdecak.
'Alam-lah yang akan menuliskan keabadian kita. Bukan manusia !. Ayo, jalan lagi, masih panjang jarak yang harus kita tempuh untuk menabur benih', ucapnya menutup percakapan.
Dua orang utan itu menghilang di balik pepohonan yang selamat dari ganasnya api musim kemarau. Â Senja telah menjadi malam. Angin Desember yang basah merekam jejak kaki mereka.
Di perkampungan pinggiran hutan, anak-anak berkumpul di depan televisi yang menyala dari tenaga genset. Berita bencana dimana-mana. Tapi anak-anak itu lebih memilih sinetron lalu menyanyikan soundtrack-nya dengan kompak : aku dan kamu satu di dalam kata cinta. aku dan kamu satu.
[Mendawai-Katingan, Pada Gerimis Desember]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H