Senja malas bertengger pada langit Desember yang basah. Berita bencana dimana-mana. Ada gempa, ada angin puting beliung. Ada longsor, ada banjir. Duka tumbuh menyaingi jamur yang bersemi di musim penghujan. Manusia selalu ringkih di hadapan kemarahan alam.
Rasionalisme-nya yang angkuh telah memamah buahnya : mesin-mesin resiko yang stabil meminta tumbal.
'Anakku, tahukah kamu apa arti kesia-siaan ?', meluncur tanya.
'Manusia telah begitu terpuruk oleh keyakinan yang berlebih pada akalnya sendiri. Ia telah membuat alam raya sebagai budak yang terus menerus diperkosa untuk memperbesar daya hidupnya sendiri. Ia sangka dengan begitu maka ia akan hidup dalam keabadian. Egois!', ucap seorang itu tanpa memberi jeda untuk bertanya apa maksud pertanyaan tadi.
'Manusia memproduksi kekacauan, lalu mereka menyusun teorinya, lalu menciptakan kekacauan baru. Mereka fikir mereka sedang mengendalikan alam. Mereka hanya sedang menciptakan ilusi kemajuan ke ilusi kemajuan berikutnya!', tuturnya lagi.
'Anakku, kita sudah terlalu banyak kehilangan kemampuan hidup secara arif', ucapnya lagi hampir tanpa terdengar.
' Pa, engkau menceritakan alam yang marah, engkau membenci manusia yang serakah. Tak ada lagikah yang tersisa bagi kita untuk menghargai dan menyelamatkan kehidupan ?', tanya keluar dari mulut yang disebut anakku itu.
'Jangan meneruskan hidup untuk ketakbergunaan. Jangan merawat kerja untuk kesia-siaan',
'Tapi untuk apa jika kita terus saja dianggap makhluk yang tak berguna ?. Hanya sejenis primata yang menjadi obyek penyelidikan rasio manusia ketimbang sebagai saudaranya yang terpisah dalam urusan evolusi ?', tanya yang dipanggil anak itu lagi.
'Jangan abdikan hidupmu untuk meratapi mereka yang tidak pernah tahu apa arti dari tindakanmu. Nilai kebergunaan kita bukan karena tindakan kita disebut-sebut dalam kisah-kisah indah hasil tulisan. Tidak juga bernilai karena jasad kita dimonumenkan dan di setiap musim libur orang-orang datang berkunjung lalu berkisah kepada anak cucu mereka. Juga tidak akan menambah nilai kita karena manusia sibuk mengkampanyekan konservasi dan kita jadi makhluk yang dihargai denda yang mahal jika dibunuh sesama mereka!', berkata datar suara yang disebut Bapa itu.
'Lalu, pada siapa kita mengabdikan hidup Pa ?', tanya si anak lagi.