Membaca tulisan Evha Uaga yang berjudul 'Kasus Cita Citata Gambaran Pandangan Masyarakat Indonesia Tentang Papua?'Â termasuk juga komentar-komentar simpatik dari Kompasianer, sungguh-sungguh menyengat nurani.Â
Benar bahwa pernyataan Cita Citata tidak bisa digeneralisasi mewakili pandangan manusia Indonesia. Tapi, secara pribadi, saya gelisah dengan konstruksi kesadaran seperti itu. Sebabnya karena saya memahami pernyataan Cita Citata sebagai manifestasi dari kesadaran, bukan sebatas sosok pedangdut yang baru mengorbit.Â
Sebagai manifestasi kesadaran, apa yang diucapkan Citata itu adalah "lampu kuning kultural" jika kita melihatnya dalam rumah besar negara-bangsa Indonesia. Lampu kuning yang mengingatkan akan bahaya laten kesadaran yang rasis dalam rumah besar Indonesia, yang entah secara sengaja atau karena tidak sadar, akan selalu menjadi dinding isolatif yang mengunci ikatan batin anak-anak suku yang menghidupi rumah Indonesia dari mengalami perjumpaan dan rasa persaudaraan yang tulus ikhlas.
Sejarah manusia telah meriwayatkan bahwa pernah ada sebuah masa dimana kesadaran yang rasis ini bersenyawa dengan kekuatan-kekuatan politik ideologi ekslusif lalu melahirkan sejenis Hitler yang maniak.Â
Mendiskusikan Produksi Rasisme JalananÂ
Pada dunia kita yang flat, generasinya mungkin boleh yakin jikalau manusia seperti Hitler tidak akan bangkit lagi di masa depan. Tapi kita tidak bisa percaya kalau rasisme sudah terkubur.
Kesadaran yang rasis akan cenderung merendahkan keberadaan eksistensi tubuh yang berbeda darinya (: jelek, hitam, keriting, pendek, dll). Dan pada saat bersamaan, kesadaran yang rasis sedang memuja dirinya sebagai yang ideal (: cantik, putih,rambut lurus, dkk).Â
Saya akan coba mengurai bagaimana rasisme jalanan itu diproduksi melalui kehidupan sehari-hari. Saya memaknai rasisme jalanan sebagai kesadaran atau sikap-sikap rasis yang mengendap di kesadaran orang-orang awam (bukan berarti tidak terdidik) karena memang diproduksi, bukan karena sifat-sifat intrinsik manusia.Â
Kita perlu memiliki batasan bahwa kehidupan sehari-hari bukanlah semata kehidupan periodik: dari pagi, malam, terus pagi lagi. Namun kehidupan sehari-hari adalah kehidupan dimana subyektifitas dan makna saling berinteraksi dan melahirkan pengertian, sikap, cara pandang, preferensi diri-kelompok, dan seterusnya.Â
Jika kita berusaha menelisik bagaimana produksi rasisme jalanan itu dalam kesadaran sehari-hari maka yang dimaksud adalah bagaimana kita melihat kesadaran subyek berinteraksi dengan makna-makna yang secara terbuka atau sembunyi-sembunyi sedang bekerja mengawetkan kesadaran yang rasis.Â
Bagaimana produksi kesadaran yang rasis dihidupkan dalam arena sehari-hari?
Pertama, sesudah tidak lagi secara organisasional memiliki mesin politik-ideologinya, kesadaran yang rasis kini memiliki dukungan dalam keberadaan 'mesin-mesin citra' yang mempromosikan terus menerus citra tubuh yang ideal dari perempuan dan laki-laki. Mesin-mesin citra yang saban hari membius kesadaran kita dengan berbagai modus operandi.Â