Tirana merupakan Ibu Kota Albania. Terletak di benua Eropa yang mayoritas penduduknya muslim (sekitar 60 persen). Sebagai salah satu negara yang memiliki sejarah panjang dalam dunia politiknya, Albania pernah terpuruk dalam kelamnya komunisme yang membatasi ruang gerak muslim di negara Balkan tersebut.
Umat muslim di Tirana masih belum bebas menjalankan ibadahnya karena kultur komunis masih melekat. Selain itu, budaya barat lebih mendominasi gaya hidup masyarakat. Western style lebih umum ketimbang muslim style.
Kebebasan beragama masih belum sempurna, beribadah masih terbatas dan sembunyi-sembunyi. Penggunaan hijab masih sangat langka dan cenderung “asing”.
Muslim yang bekerja atau sekolah/kuliah masih sulit melakukan ibadah sholat karena fasilitas tidak ada. Toilet tidak memiliki tempat bersuci yang pada umumnya seorang muslim perlukan, yaitu air yang mengalir. Demikian halnya dengan ruang sholat dan waktu pelaksanaan shalat yang masih diabaikan.
Menurut cerita seorang mahasiswi muslim di sana, selain penggunaan hijab yang dibatasi, apabila akan melakukan sholat harus memiliki wudhu dari rumah dan harus meminta ijin kepada dosen dalam waktu yang sempit untuk sekedar menjalankan sholat yang tidak sampai 5 menit.
Namun di ruang publik, beberapa masjid berdiri dengan berbagai bentuk. Masjid Agung Namazgah (the Great Mosque) berdiri di tengah kota dan merupakan masjid terbesar di Balkan dengan kubah-kubah dan tiang bernuansa Turki.
Saat saya berkunjung akhir tahun 2018, masjid tersebut masih proses renovasi. Saat ini, proses renovasinya sudah selesai namun belum dibuka secara resmi oleh Presiden Erdogan karena pembangunan masjid tersebut dibiayai oleh organisasi Muslim Turki.
Di pusat kota juga terdapat beberapa masjid, namun tidak semegah Namazgah. Salah satu masjid yang saya kunjungi adalah Dine Hoxha, masjid yang dekat dengan alun-alun Skanderbeg. Lantai bawah untuk berwudhu dan tempat sholat laki-laki, sedangkan di lantai mezanin ada ruang sholat untuk perempuan. Toilet di masjid tersebut difasilitasi ember yang bisa digunakan untuk beristinja dengan air. Berbeda dengan toilet umum lainnya yang hanya menyediakan tisu saja.
Di area masjid tersebut terdapat beberapa restoran halal, salah satunya Restoran Turki yang menjual kebab. Meskipun mayoritas penduduknya muslim, restoran dan kafe-kafe di sana belum memperhatikan kehalalan makanannya. Bahkan alkohol dan bir menjadi minuman yang biasa dijual dan dikonsumsi masyarakat Tirana.
Restoran di sana juga tetap buka meskipun Bulan Ramadhan karena puasa di sana hanya dijalankan oleh orang tertentu saja.
Meskipun jumlahnya terbatas, ada beberapa restoran muslim lainnya yang menyajikan makanan halal khas Albania salah satunya “E pershtatshme alias E Per7shme”.
Lokasi restaurant tersebut tidak jauh dari pusat kota dan masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Menu yang disajikan antara lain Fergese me gjize. Makanan yang mirip dengan salad berisi tomat, paprika, dan sayuran lainnya dengan taburan keju.
Penduduk di Tirana sudah terbiasa berjalan kaki karena kota yang kecil. Berbagai fasilitas berdekatan satu sama lain. Namun bagi pelancong, ada baiknya mengecek secara cermat lokasi yang dituju dan mengkonfirmasi lokasi tersebut kepada penduduk asli. Nama jalan yang tertulis terkadang tidak sesuai dengan yang tertera di google map. Hal ini pernah saya alami ketika tersesat mencari kantor statistik di sana.
Namun jangan khawatir, berkeliling kota Tirana cukup aman bagi turis. Hal inilah yang saya alami ketika berjalan sendirian menyusuri kota selama dua hari. Area yang saya kunjungi adalah Bungkart (semacam ruang bawah tanah tempat persembunyian selama perang dunia), museum pyramid, pusat kota (alun-alun) Skanderbeg dan Toptani (area perbelanjaan). Lokasinya saling berdekatan.
Transportasi di sana juga cukup aman, murah, dan terjangkau. Ongkos bus yang saya naiki untuk pergi ke Bandara hanya 250 Lek atau 36 ribu rupiah.
Frekuensi keberangkatan juga cukup pendek sehingga tidak perlu lama menunggu. Bandara juga cukup ramai, perjalanan ke luar negeri memiliki frekuensi yang cukup rapat.
Namun demikian, apabila muslim di sana ingin melakukan ibadah haji ke tanah suci. Perjalanan akan jauh lebih murah apabila menggunakan jalur darat tujuan Istanbul Turki melalui Serbia-Bulgaria atau Yunani dengan menggunakan bus. Dari Istanbul bisa dilanjutkan dengan pesawat hingga ke Arab Saudi.
Menurut informasi yang saya dapatkan, meskipun waktu yang diperlukan cukup lama untuk sampai tujuan, beberapa perusahaan travel umrah/haji yang murah menggunakan cara tersebut.
Selama tiga hari berada di sana, saya terpana membayangkan bagaimana seorang muslim di sana dapat bertahan dengan keislamannya.
Di tengah sekulerisme yang semakin menjalar di daratan Eropa, apakah 60 persen penduduk di sana akan tetap teguh memeluk islam atau hanya mengaku islam, atau akan melepaskannya suatu saat nanti.
Semoga upaya-upaya yang telah dilakukan komite muslim Albania, pengampu pelajaran keagamaan di dunia pendidikan, dan aktivis anti islamophobia membuahkan hasil.
Dan sebagai 87 persen muslim di Indonesia, kita patut bersyukur karena bisa menjalankan rukun islam dengan tentram dan beribadah tanpa gundah.