Hari ini (10 Januari 2017), masyarakat dunia merayakan Hari Sejuta Pohon. Memang sepertinya tidak ada perayaan besar-besaran yang rutin dilaksanakan di Indonesia untuk memperingati hari tersebut. Namun demikian, masyarakat sesugguhnya sudah membiasakan  dengan inisiatif sendiri menanam pohon atau tanaman di halaman rumah masing-masing. Pohon atau tanaman digunakan untuk berbagai keperluan, selain untuk penghias rumah, tanaman juga berfungsi sebagai obat, pendingin alami, supplier oksigen, dan untuk resapan air.
Berdasarkan data BPS dari Survei Sosial Ekonomi Nasional, Modul Ketahanan Sosial tahun 2014, sebanyak 59,72 persen rumahtangga di Indonesia memiliki tanaman di rumah. Selain itu, Â 45,98 persen rumah tangga juga memiliki tanaman keras yang ditanam langsung di pekarangan rumahnya. Namun, kebiasaan rumah tangga menanam tanaman di pedesaan lebih umum dilakukan ketimbang di perkotaan.
Lalu seberapa besar pengaruh menanam pohon di rumah? Penanaman pohon atau tanaman di rumah memang tidak akan terlalu besar pengaruhnya seperti reboisasi hutan secara besar-besaran. Namun, setidaknya upaya partisipatif ini diperlukan dalam  meningkatkan resapan air.
Pengelolaan lingkungan memang memerlukan upaya partisipasi masyarakat secara luas. Perubahan yang terjadi pada alam merupakan tanggungjawab manusia. Karena tangan manusialah yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Maka dengan tangan manusia pula ekosistem bumi dapat diubah.
Ulah manusia dalam perubahan ekosistem telah  diyakini sejak dahulu sebagai penyebab perubahan sistem bumi. Oleh sebab itulah anthropocene telah berkembang dan menjadi konsep penting para environmentalist. Anthropocene adalah istilah dalam Geologi-Antropologi, yang berfungsi untuk menandai bukti dan tingkat aktivitas manusia yang memiliki dampak signifikan terhadap ekosistem bumi. Kapan anthropocene ini dimulai belum ada kesepakatan. Ada yang bilang sejak manusia ada, ada juga yang mengatakan sejak revolusi industri. Namun pada intinya prilaku manusia dalam memperlakukan alam telah merubah sistem-sistem yang sudah stabil secara alamiah. Seperti perubahan cuaca dan iklim sebagai akibat pemanasan global.
Apa yang bisa kita lakukan untuk memperkecil dampak kerusakan alam? Dalam pelajaran sekolah dasarpun sebetulnya sudah diperkenalkan beberapa langkah yang dapat dilakukan. Diantaranya terkait dengan pengelolaan sumber daya air, pengelolaan energi, penggunaan transportasi, pengelolaan sampah, dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.Â
Lalu, seberapa jauh mana kegiatan tersebut sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia? Prilaku masyarakat terhadap lingkungan hidup tergambar dari Indikator Prilaku Peduli Lingkungan. Data tersebut dihitung oleh  BPS  berdasarkan  survei lingkungan  hidup  yang terdapat  dalam  kegiatan  Modul  Ketahanan  Sosial  (Modul  Hansos) dan Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup (SPPLH).  Dari hasil tersebut diantaranya diperoleh berbagai indikator, yaitu persentase rumahtangga yang menggunakan energi alternatif, rumah tangga yang memiliki kebiasaan memanfaatkan air bekas  dan barang bekas untuk keperluan lain, rumah tangga yang mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi, rumah tangga yang melakukan pemilahan sampah, dll. Informasi ini selengkapnya dapat diunduh di website www.bps.go.id.
Dari informasi tersebut, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan memang belum optimal dilakukan. Namun sesungguhnya sekecil apapun upaya kita dalam menjaga lingkungan akan berdampak besar bagi keberlangsungan hidup anak cucu kita.
Kalau bukan kita siapa lagi,
Kalau bukan sekarang kapan lagi?
Referensi, dari sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H