INI hanya sudut pandang saya. Saya pun tak ingin ikut terjebak debat PSSI atau KPSI, Djohar atau La Nyala.
Sebagai penikmat tontonan sepak bola, saya tentu bagian dari pihak yang dirugikan dengan kisruh itu! Mengapa? Karena saya, penikmat bola, hanya butuh tontonan, hiburan, bukan yang lain.
Jujur, kadang keributan wasit dan pemain itu bisa jadi tontonan menarik. Ada saling lempar botol di stadion, juga dagelan yang bisa membuat nyengir. Ya, itulah hiburan. Panggung. Drama dari tontonan bola.
Jangankan di Indonesia, beberapa kali saya nonton di sejumlah stadion kiblat sepak bola, hal-hal ini juga kadang terjadi lho! Ada fans fanatik yang suka ribut. Bikin ulah. Namun, kalau saya tanya, kenapa Anda berbuat seperti itu? Mereka ringan menjawab, “Ya, inilah yang membuat sepak bola berbeda dari yang lain! Nafasnya sudah seperti aliran agama!”
Oke, kembali ke sepak bola nasional kini. Saya jadi teringat obrolan dengan Nurdin Halid, sebagai orang tenar dengan popularitas tak kalah dengan Presiden SBY atau sejajar dengan Gayus Tambunan.
Saat itu, saya tahu betul, Nurdin ini adalah musuh bersama bagi pecinta sepak bola nasional. Demo Nurdin turun keras di sana-sini. Mulai dari orang demo masak, demo beneran di kantor PSSI, sampai banyak yang membuat demo lagu!
Para pendomo itu juga sampai frustasi. Sebab kuatnya akar dan cakar Nurdin di PSSI hingga ia susah untuk mundur. Sampai keluar kelakar, “Ya…hanya tukang parkir yang bisa menyuruh Nurdin mundur…!”
Tapi di luar semua kebencian orang pada Nurdin, saya cukup menikmati obrolan itu, saat dia bercerita soal industri sepak bola nasional. Betul Nurdin banyak minusnya di mata kelompok suporter.Tapi ada yang terlupa, delapan tahun dia menukangi PSSI, secara perlahan dalam kurun waktu itu, sepak bola di Indonesia rupanya merayap ke ranah industri!
Saya hanya tersenyum saat itu, mendengar ucapan Nurdin. Apalagi, semua juga tahu, bagaimana kondisi sepak bola nasional di bawah kepemimpinannya. Mulai dari Timnas yang minim prestasi, liga yang dinilai sarat kecurangan, hingga bagaimana uang negara, lewat APBD yang ikut-ikutan terkuras untuk mendanai klub yang turut kompetisi.
Saya juga jelas tidak terima, uang rakyat dari pajak itu, dipakai untuk menggaji pemain asing, atau dipakai untuk hip hop, dugem, oleh pemain-pemain berperilaku minus dan suka mabuk-mabukan.
Tapi, okelah itu semua cerita lama dan hanya tuduhan. Belum ada bukti. Hanya rahasia umum yang orang tahu sama tahu saja. Sebab, sampai kini belum ada pejara yang diisi oleh pengorupsi berlabel liga sepak bola.
Kembali ke soal industri sepak bola nasional. Saya akui, laga-laga liga buatan Nurdin, mulai banyak diminati. Suporter kian riuh membanjiri stadion. Komunitas sepak bola bermunculan.
Kelompok suporter pun kian bernilaijual. Inilah yang menjadi pasar menarik bagi sponsor. Hingga klub-klub sepak bola mulai dilirik. Ada kepercayaan, ada keyakinan, bahwa sepak bola di Indonesia menjanjikan keuntungan.
Ya, saya juga pernah diundang menghadiri kerjasama kelompok suporter dengan perusahaan telekomunikasi. Penjualan jasa konten hingga produk kartu dan telepon selurer. Inilah faktanya, sepak bola indonesia menuju industri.
Di luar klub dan kelompok suporter, tentunya masih ada pemain yang juga bernilai kapital. Betul, prestasi Timnas Garuda jeblok. Namun, ini sama sekali tidak berpengaruh bagi industri sepak bola nasional yang tengah tumbuh.
Mengapa? Bisa dilihat hampir seluruh punggawa Garuda era Nurdin menjadi bintang iklan!!! Mereka terkontrak dengan perusahaan untuk turut menjual produk. Tidak kalah dengan model, aktor, dan artis. Bahkan di acara fashion show, beberapa kali saya lihat ada pemain nasional yang ikut berjalan di catwalk….
Tentu ini nilai positif. Nilai jual dari se
Usai Nurdin lengser, Djohar naik, pesona hiburan itu, saya lihat kian luntur. Iklan televisi sudah kembali ke habitatnya. Memakai artis, dan model. Mungkin hanya satu, dua, tiga pesepakbola yang masih jadi bintang iklan, tapi saya yakin karena mereka sudah kontrak jangka panjang. Karena mereka itu adalah muka lama.
Saya tak mau terjebak pada polemik Djohar. Tapi inilah realitasnya, profesor tak mampu melanjutkan sepak bola bernilai jual. Meski dari hak siar, ia mendapatkan stasiun televisi yang tak diragukan lagi dalam mengemas tontonan sepak bola.
Haruskah profesor memulai semuanya dari nol? Sayang…sangat, sangat sayang sekali!! Dalam perhitungan industri, orang tidak butuh sekedar prestasi, tapi konsistensi dan kepastian. Bila stadion terus penuh saat klub bermain, bila GBK selalu penuh saat Tim Garuda tampil, mau kalah berapa pun, sepak bola Indonesia tetap bernilai jual!
Kini, dengan kompetisi terbelah! Klub terbagi! PSSI terpecah! Kelompok suporter terkotak! Dan pemain tak berkutik! Nilai jual sepak bola nasional kian surut.
Mestinya, kita tetap anggap ini adalah hiburan. Tidak usah berbusa-busa bicara kepentingan politik di sepak bola. Tak usah pula berpikir ini untuk kepentingan 2014. Karena saya hanya butuh hiburan! Maka, buatlah semenarik mungkin hiburan itu. Ciptakan lagi industri yang memicu pemain tampil menghibur….
Ya, bermain bagus, kompak, dan bisa membanggakan merah putih!!! Karena dengan itu, mereka bisa memiliki mimpi lagi tampil di catwalk dan menghiasi tayangan televisi….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H