Hari sudah sore saat kami lepas dari pelabuhan Tulehu. Tujuan utama kami adalah ke Negeri Buria di kecamatan Taniwel Seram Barat, Maluku. Sebenarnya diawal tak ada tujuan untuk mencari durian, dan catatan ini hanyalah sisipan cerita dari tugas saya meliput suku Bati, suku yang paling ditakuti di Pulau Seram. Konon katanya, Â mereka bisa terbang. Bisa berubah wujud menjadi hewan dan gemar menculik anak kecil.
Tak ada informasi yang detail tentang Negeri Buria. Saya cuma mendapat informasi secuil dari pak Pieter, seorang sosiolog dari Univertas Unpati yang pernah meneliti tentang orang Bati selama 28 tahun. "Kalau mau... liput tentang orang Bati kami harus ke Buria baru nanti ke seram timur"Â begitu katanya, tak lebih tak kurang.
Selepas pelabuhan, sebelum masuk kota Piru, suguhan sabana menghilangkan image tentang mitos "seramnya" pulau ini. Savan bak permadani hijau, disisip tunggak-tunggak pohon kayu putih, mempesona. namun selepas kota Piru, pulau Seram mulai menunjukan aslinya.
Jalan menyempit diatasnya  dahan pohon-pohon besar  saling menggegam menahan matahari masuk. Puluhan kilo jalanan sepi hanya sesekali pengendara lewat. Perkampungan di seram barat seperti titik titik kecil di tengah belantara . Jaraknya pun sanggat berjauhaan, kira kira setiap 30 km baru kita menemukan perkampungan warga.
Hari mejelang malam, hutan sagu mulai terlihat tamaram..
"Tobaco"! kata alwin supir kami, memecah keheningan.
Sepertinya dia mulai was-was, tarikan nafasnya panjang memuntahkan asap rokok tebal. Meski handal dan sering membawa wartawan dari Jakarta keliling pulau seram dan ambon, perjalan ke pelosok seram barat adalah hal baru buat dia.
Berulang kali ia harus turun mengecek jembatan kayu yang mulai rapuh. Jika mobil kami terpelosok, selesailah kita terbenam di pelosok seram. Tak hanya dia, kapitan kontributor Tv One dan Gatot, seorang kameraman senior pun terdiam, kalah oleh heningnyaa malam.
Kampung Buria, terletak pas di tengah cekungan lembah, diapit dua gunung dengan ketinggian kira-kira 6oo Mdpl. Sebelum sampe di Buria saya menginap dulu di Kecamatan Taniwel.
Paginya perjalanan baru dilanjutkan kembali. Disepanjang jalan pemandangan elok membentang, pegunungan kapur menghijau dibelah oleh sungai yang mengalir cukup deras. Di lembah, terdapat ratusan pohon durian seperti cagak mengayomi kampung Buria.
Selepas doa, dia berdiri merentangkan tangan "Begini cara orang tua kami terbang" kata Raja Buria.
Pagi sekali kami sampe di negeri Buria. Meski tak berkabar, Raja Buria menyambut kami dengan antusias. Ia pun langsung mengajak kami ke tempat batu keramat yang konon tempat luluhur mereka untuk "tinggal landas" dan terbang.
"ini batu bati, batu keramat dibawa oleh leluhur ke sini. Kalau orang tua kami mau terbang semua orang kampung tahu. Tanda langit bicara. Awam semua turun, seperti mendung tebal, itu sudah pasti bapak kami suterbang" kata beliau
Raja Buria terengah, sekitar matanya memandang langit. Sebagai anak Raja Buria, dialah satu satu saksi mata yang pernah melihat bapaknya terbang.
"Ayah saya dulu waktu kecil pernah di culik suku bati. Menghilang entah berapa tahun. Sekembalinya dari suku bati dia punya keahlian terbang dan sakti. Sebelum diangkat jadi raja disini, ayah saya diadu dengan para kapitam di sini. Semua kalah. Lalu diangkat jadi raja di kampung ini" kata raja sambil terseyum.
Legenda orang bati, orang yang bisa terbang yang gemar meculik anak kecil memang menyebar di seluruh pulau Seram.
"Orang bati, mereka kalau meculik anak harus diikhlaskan, kalau ikhlash nanti kalau besar di pulang lagi ke rumah. Kalau kita tidak ikhlash, mati nanti anaknya. kalau di sini biar tidak diculik orang bati, penangkalnya pakai besi putih diikat di baju. itu sudah. Orang bati seng mau ambil"
Bapak raja bisa terbang.. dia hanya terdiam.
"Bapak Raja bisa terbang?"Â kata saya menyelidik.
"Ha.ha.ha.. tidak bisa" sejak muda saya merantau ke Jakarta, yah sempat jadi petinju nasional, pernah juga jadi lawan tanding elias pikal, pernah juga jadi preman di Bandung, jadi mungkin ilmunya hilang"Â kata raja sambil terkekeh.
"Ahhh... kamu telat musim durian su habis di sini.Kalau musim durian harganya paling 3.000 rupiah. Buanyak sampe bingung kami makanya. Di sini juga belum masuk listrik jadi agak susah buat ngolahnya.. ya begitu aja paling diborong orang untuk di jual di kota Ambon"Â kata raja buria.
Dengan parang durian 5 bulat sempurna di buka, dagingnya putih seragam
Durian negri Buria rasa punya pahit melonjak. Tektur dagingnya kering dan sedikit berserat. Rasa pahitnya seperti "uppercut" yang membuat saya sempoyongan, 2 ruas durian sudah cukup untuk meng "KO" saya..
"Ini lagi"Â kata bapak raja.
"Sudah cukup bapak, sudah pusing saya"Â kata saya memelas...
"Hmmm masih ada.. di kampong Taniwel tempat adek menginap di situ masih ada, pak Syamsul dia asli orang bati. Dulu waktu suadaranya meninggal dia lagi dinas di Pulau Geser, begitu selesai di telepon tak sampe 5 menit dia sudah pulang di Taniwel. Ee.. padahal jarak kampong Taniwel itu bisa dua hari" kata pak raja serius..
Jadi adek-adek ini mau ke Kampung Bati di Seram Timur? Kata bapak Raja serius
"Iya bapak" kata saya." Kami rencananya ke Seram Timur dan pulau Geser"
"Woiii... jauh itu kata beliau, eeh, tunggu dulu". Kata raja sambil beranjak
"Adek sini! Ini bamboo kuning berduri, bamboo keramat di kampong kami, nanti bapak raja potong kamu bawa saja buat bekal"Â kata beliau.
Selepas siang, saya meninggalkan bapak Raja. Rindang pepohonan pelan pelan seperti tirai menutup kampung Buria dari pandangan mata saya, entah kenapa saya merasa tenang dan bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H