Jalan menuju desa Rocopolo cukup membuat saya degdegan. Jalan kecil  berliku dengan tikungan tajam. Sebentar - bentar saya menghela nafas  melihat kabut mulai menyesir. Daerahnya sangat sepi hanya beberapa rumah  bergerembol habis itu lenyap ditelan untaian bukit rindang. Apakah saya  salah jalan?..
 "Kelewatan mas" !!! "nanti ada pertigaan samping warung bakso belok kiri naik keatas" Kata seorang warga yang saya tanya.
 Saya mengerutu, susah kali mencari perkebunannya.tapi apalah, sudah tanggung jauh.
 Dari perempatan,  jalan raya sudah berakhir diganti dengan jalan cor  yang terbelah dua. Hujanpun tiba-tiba  jatuh sangat lebat. Bulu kuduk  saya merinding menapaki jalan sempit yang diganjal jurang terjal.  Kabutpun seakan berkumpul meradang melihat kedatanganya saya.  Piuh...baru kali ini saya merasakan takut di siang hari..
 "Ini pasti rumahnya" kata teman  saya seorang jurnalis senior. Tak peduli hujan lebat saya berlari  menuruni jalan kecil yang licin. Si pemilik  rumah terlihat curiga  ketika kami datang. Dengan menenteng handuk merah, dia mulai mencungkil  informasi, siapa kami gerangan yang berani datang.
Bibirnya yang mengeras mulai mengendur saat dia tahu kami hanya cecunguk penggila durian.
"Yo wis telat mas, sudah habis durianya. Kemaren loh pas lebaran mulai panen. Lumayan musim ini 1500 buah"..
Gubrak, inilah akhir dari perjalan saya. Cukup mengenaskan tapi toh itu resiko. Ini bukan sinetron happy ending.
"Tapi sebentar" kata beliau yang belakangn saya tahu namanya pak Sobur.
Dari balik tirai dapur dia membawa 3 buah durian.
"Ini Sitokong, ini Otong dan ini saya ndak tahu namanya". kata pak Sobur sambil memeluk tiga durian.
Eing i eng.. saya tertegun tak percaya. Dalam hati saya riang gembira, Â kalau ndak malu sudah tak peluk dan cium ubun-ubun pak Sobur yang botak.
" Ini buah akhir, kami punya 100 pohon dilahan 1,5 hektar. Bibitnya  kakak saya yang bawa lansung dari bogor tahun 1983". Kata beliau sambil menenteng buah durian.
Dari beberapa kali muter muter cari  durian, ini penemuan saya yang cukup membanggakan. Perkebunan durian  unggulan lokal tahun 1983 yang masih bertahan dan masih berbuah. Hmmm...  saya sangat bersemangat.
"Ada durian apa aja mas". kata saya penuh selidik seperti detektif Conan.
"Buanyak mas, Matahari, petruk, hepe, sunan, sing pait pisan sikirik ( mungkin tai babi) opo meneh yo lali saya". Kata beliau.
" Semuanya berbuah" kata saya.
" Yo berbuah mas" katanya santai sambil membenarkan handuk yang melorot. "Wis buka sik durene"!! kata beliau ramah.
"Piye mas, kurang yo. Duren akhir sih. Yang paling enak petruk, sayang  dah habis nanti musim depan saya kabari lagi." Kata beliau seakan tahu ekpresi muka saya.
"Disini mas durian unggulan sekarang sudah  menyebar, satu desa inilah, ada yang ambil bibit dari sini atau dari  pak sopo yah....lupa saya..Pokoknya ada 4 orang petani yang unda-undi  bareng nanam tahun 83. Siotong itu ditanam dari Biji."
"Tapi yo  kadang pemerintah yo aneh" kata beliau berkeluh kesah. "Dulu dibagiin  bibit daunnya lebar. Pas panen buahnya bagus, ijo lah pas dibuka kaya  ndak mateng, rasanya koyo singkong. Durian lai kata orang gituh" kata  pak Subur.
Sore itu kabut kembali turun. dipagari  hujan dan  gelapnya mendung, perkebunan beliau seperti enggan saya foto. Ah..semua  masih mistery tapi toh saya tak mau berlidah pahit dan berkacamata buram  meski belum menemukan durian unggulan nasional yang benar -benar enak.  toh masih ada waktu buat saya untuk mencari dan mecicipi durian legenda  unggulan. Dan kali ini saya tahu tempanya dimana..
Salam
Jakarta 1 Agustus 2017
Pecinta Durian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H