Bila anda pernah berkunjung ke danau Maninjau anda pasti merasakan sesuatu yang berbeda, kalau saya menyebutnya "sorga". betapa tidak, danau Maninjau dibingkai bukit barisan yang melingkar sempurna dengan punggung bukit meliuk-liuk seperti Ular Naga tidur. di lerengnya berkotak kotak sawah tumpah hingga bibir danau. Disela selanya anda masih bisa melihat rumah adat minang berdiri gagah menggenapkan keindahan danau Maninjau. Apa lagi bila anda datang saat usai subuh. Awan masih malas malasan diatas air danau maninjau, sesekali kalau anda beruntung bisa melihat ikan berlompat. Atau kalau anda punya waktu lebih, esok subuhnya berlarilah di Pucuk Lawang. Anda bisa melihat pemandang danau Maninjau 360 derajat dari ketinggian. Awan bak tirai menyibak menutup danau Maninjau
wah saya bisa gila menceritakan keindahan danau Maninjau..
Saya datang cukup siang waktu sampe di Maninjau. Saya pun tak punya teman atau informasi awal apa apa yang bisa membantu saya berburu durian. Mungkin sudah bakat alam saya suka ngopi di warung. dari warung kopi saya tahu, semua informasi ada. Mau cari gosip janda baru sampe ngomongin quickcount yang ngawur semua ada, tumpah santai kaya kopi dituang ke tatakan.
Benar juga, entah kenapa orang minang sangat mudah menerima orang luar, Anto misalnya baru 10 menit saya ngobrol denganya sudah kayak teman lama yang puluhan tahun tak bertemu. Matanya berbinar waktu saya bilang datang dari Jakarta , spontan nada dan logat bicaranya berubah kayak pemain lenong kawinan “busyet dah Jakarta ya….saya ya lama di Jakarta. anee 10 tahun jualan baju di senen”..
Buat anda yang lahir dan tinggal di pulau Jawa, saya pastiin tidak pernah melihat pemandangan seperti ini , saya sendiri tak sempat menghitung namun sepanjang mata memadang parak durian di nagari Kuto Malintang kabupaten Agam, Nagari di bibir danau Maninjau ini penuh dengan pohon durian. Diameternya bukan main main besar, setara dengan 2 dekapan orang dewasa. Hampir sepanjang jalan yang saya lalui pohon durian menjulang hingga 30m. Menurut Anto, satu pohon ini dalam satu musim bisa menghasilkan 2500 buah. Setelah berkenalan tadi di warung kopi, tanpa saya minta Anto jadi pemandu dadakan buat saya. Mungkin dia iba melihat saya terbengong -beong tak percaya bila ia cerita tentang durian di kampungnya.
Kampung Anto terletak persis di pinggir danau Maninjau, selepas kampung ada ribuan pohon durian milik ulayat. “Lo bayangkan lah setiap hari 3000 durian dipanen dari kampung gw “ kata anto semangat. Percaya, awalnya saya tidak percaya namun setelah di anter Anto dengan motornya saya baru percaya. Saya seperti dihipnotis masuk ke taman indah dengan tiang tiang pokok durian, disetiap sudut dan labirinya puluhan orang menenteng buah durian dan dikumpulkan di sebuah gubuk sederhana. Saya melihat mereka seperti penghuni surga.
Gedebug!!!!!
Suara durian jatuh membuyarkan lamunan saya. Wieeet seruis setelah saya menengok keatas saya baru sadar berdiri dibawah ratusan durian dengan berat 2 kg yang siap menghujam apa saja di bawahnya, waduh bisa boyok muka saya. Tanpa kode tanpa komando reflek saya berlari kencang bukanya lari ke gubug menghindar, saya seperti kesetanan berlari mengambil durian tak peduli bonyok tak peduli milik siapa pokoknya saya mau ambil durian inilah mimpi terliar saya selain mecium Dian Sastro." Panen durian.
Memungut durian jatuhan mungkin bagi orang sini “apalah”, namun buat saya butuh penantian lebih dari 30 tahun. Sebuah mimpi yang muncul setelah saya membaca sebuah cerita entah tentang apa hanya yang saya ingat latar belakang cerita tersebut bercerita tentang kampung durian namun dihargai sangat murah. Malah karena tidak bisa berhitung para tokek sering menipu para petani. Sejak itulah mimpi memanen durian terpatri di kepala saya.
Setelah mendaptkan durian, saya seperti anak kecil kegirangan berlari lari kecil ke gubug entah milik siapa "ndak papa makan aja" sepertinya ibu dihadapan saya bisa membaca pikiran saya namun saya masih ragu apakah durian enak sebagai pengemar durian, saya sebenarnya benci durian karena sering dikhianati. Sekali beli enak sepuluh kali gagal, yang busuklah, yang hambarlah, yang asemlah ada saja alasanya yang membuat saya ilfil.”kuciwa ceuk sudah mah”.
Tapi apalah itu semua, didepan saya sudah ada durian kulit coklat tua di balut belahan daun kering menggoda setiap simpul syaraf saya. Aaaa… belah duren.!!!!
Tak sampe 5 menit hampir setengah ruas buah durian habis saya lahap. Dek kalau mau lihat durian jatuh lebih banyak, nanti malam datang lagi kesini kata ibu yang belakangan saya tahu namanya ..seperti kerbau dicicuk hidungnya saya pun mengaguk tanpa bersuara membayangkan petualangan apalagi yang akan saya dapat nanti malam.
Bersambung…….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H