Kalau Hernowo mengibaratkan kenikmatan membaca buku seperti memakan "sepotong pizza", maka Sosok Ahok ibarat "candu" yang senantiasa memancing setiap mereka, baik pembenci maupun yang mencintai dan mengagumi Ahok, dari sekedar membicarakan hingga mengulas dalam bentuk tulisan
Tahun 2017 merupakan tahun politik paling gaduh dan penuh dengan suasana riuh bagi perpolitikan Indonesia dan banyak mempengaruhi psikologi masyarakat Indonesia. Kondisi tersebut tidak terlepas dari sosok mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau akrab dengan panggilan Ahok dengan gaya kepemimpinan kontroversial
Semenjak dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden RI pada Pemilu 2014, Ahok kerap tampil kontroversial, baik kebijakan maupun perkataan yang oleh sebagian masyarakat sebagai pola komunikasi buruk, keras dan kasar
Pola komunikasi buruk dan kasar dengan kebijakan dinilai arogan telah mengundang antipanti dan kebencian dikalangan sebagian warga dan elit politik yang tidak menyukai gaya kepemimpinan Ahok. Kondisi inilah yang disinyalir jadi penyebab Kekalahan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta dari pasangan Anis - Sandi yang meski hanya pendatang baru
Gandarista Putri mengatakan membandingkan gaya kepemimpinan itu penting untuk menentukan pilihan politik secara proporsional sekaligus rasional. Â Sebab, gaya kepemimpinan menentukan berhasil atau gagalnya proses pemerintahan dalam semua level organisasi, terlebih organisasi pemerintah.
Gaya kepemimpinan mula-mula dapat dilihat dari pola komunikasi yang dibangun. Sebab komunikasi adalah ekspresi verbal yang menunjukkan karakter kepemimpinan seseorang. Pasalnya, ada banyak kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang terdapat di Jakarta.
Ketegasan tidak memiliki kaitan sama sekali dengan pola komunikasi yang kasar dan celpas-ceplos, bahkan seringkali kontraproduktif. Begitu juga, pola komunikasi yang dengan nada kalem, santun, atau puitis sama sekali tidak ada kaitannya dengan pemimpin yang hanya bisa beretorika. Kemampuan memanagement bahasa sangat penting dalam kepemimpinan.
Kemampuan ini menghindari pemimpin dari bencana kata-kata akibat ucapannya yang tak terkontrol dan menyakiti orang lain. Kita sudah melihat bukti kegagalan memanagement bahasa dapat berakhir pada kehancuran pada kasus Ahok.
Sementara dalam hal kebijakan, memperbaiki tataklola pemerintahan, birokrasi dan pembangunan DKI Jakarta, oleh sebagian masyarakat Ahok juga dinilai seringkali berlaku arogan dan sewenang - sewenang, tanpa kenal kompromi, main gusur permukiman warga yang tinggal di bantaran kali dan dinilai melanggar aturan
Kebijakan tanpa kompromi dijalankan Ahok tersebut kemudian banyak menjadikan sebagian kalangan merasa gerah, mulai dari masyarakat biasa, hingga kelompok tertentu yang kepentingannya merasa terganggu oleh kebijakan dijalankan Ahok dan berusaha mencari cara menyingkirkan Ahok dari Kepemimpinan DKI Jakarta
Mulai dari permainan isu SARA, kebijakan tidak pro rakyat, melaporkan Ahok ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas temuan kerugian negara dalam proses pembelian rumah sakit Sumber Waras, berdasarkan hasil audit BPK. Puncaknya ketika potongan vidio pidato Ahok di Kepulauan seribu yang disebar Buni Yani dinilai telah melakukan penistaan agama, dengan menyindir surat Al-Maidah, dijadikan amunisi paling sukses lawan politik dan pembenci Ahok
Demonstrasi berjilid - jilid yang dimotori Front Pembela Islam (FPI), sebagai ormas penentang pembenci Ahok sedari awal, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majlis Ulama Indonesia (MUI), Forum Umat Islam (FUI) dan sejumlah ormas lain berhasil menggalang puluhan ribu umat Islam melakukan aksi demonstrasi menuntut aparat hukum, menangkap, mengadili dan memenjarakan Ahok
Terbukti Gerakan aksi demonstrasi besar dan berjilid tersebut mampu menyeret Ahok ke kursi pesakitan, diadili hingga dipenjara karena dinilai telah melakukan penistaan agama. Langkah tersebut sekaligus menumbangkan Ahok dari kursi  Gubernur DKI dan dimenangkan Anis Baswedan Sandiaga Uno
Selain kasus penistaan agama, pola Komunikasi dan kebijakan yang dinilai sewenang - sewenang menjadi salah sebab ketidaksukaan sebagian masyarakat terhadap Ahok, sehingga berdampak terhadap kekalahan pada Pilkada DKI 2017
Lasmiyati mengatakan setelah terpisah dari Jokowi dan berjalan sendiri, Ahok berjalan timpang apalagi saat menghadapi masyarakat bawah atau yang berseberangan dengannya. Dia sering arogan, bicara keras, kasar dan terkesan kalau berbicara tidak dipikirkan dahulu, hingga terjerat kasus penistaan agama. Ahok yang sebelumnya diperhitungkan dan disegani berubah menjadi sosok dibenci
Dicintai Karena Pemberani
Terlepas dari pola komunikasi yang dalam penilaian sebagian masyarakat buruk dan kasar, dengan kebijakan tanpa kompromi, Â Ahok di mata sebagian masyarakat lain merupakan pahlawan, pekerja keras dan sosok pemimpin pemberani dan tegas memberantas korupsi, memberantas mafia di lingkungan birokrasi yang selama ini menggerogoti uang rakyat, tanpa kompromi
Tegar Prasetya mengatakan, hadirnya sosok Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kancah perpolitikan tanah air, mampu  membuat warna baru yang berhasil mengubah wajah politik Indonesia dengan gaya kepemimpinannya yang lugas, tegas, dan berani, dikenal sangat memusuhi prilaku koruptif yang selama ini cukup kental dalam wajah birokrasi tanah air.
Membangun sistem untuk mempersempit ruang gerak agar penyelewangan di lingkungan birokrasi pemerintahan tidak dapat dilakukan. Langkah berani dan tegas tersebut jelas tidak disukai dan mendapat perlawanan melalui berbagai cara oleh para pihak yang selama ini menikmati permainan anggaran dilingkungan Pemprov DKI Jakarta merasa terusik, bahkan menganggap kehadiran Ahok sebagai ancaman serius yang telah mengusik kenyamanan mereka. Ahok sebagai sosok yang mengguncang sistem perpolitikan Indonesia.
Kasus penistaan agama, aksi demonstrasi berjilid - jilid menuntut Ahok diadili dan dipenjarakan oleh banyak kalangan disebut hanya sebagai kambing hitam dan sarat bernuansa politis dan tidak murni persoalan agama semata, sebagai strategi menumbangkan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta
Hendra Budiman menilai, masalah Ahok" bukan masalah Pilkada DKI. Ini murni politik yang tersangkut dengan kekuasaan Jokowi. Masalah Ahok, bukanlah masalah hukum, bukan masalah agama, apalagi masalah Pilkada. Bila masuk dalam perdebatan ranah hukum, agama, pilkada, maka akan terjadi banyak paradoks yang tidak logis.
Saya menyadari bahwa acapkali masalah agama dan Pilkada menyeret argumen-argumen yang emosional sehingga bantahan rasional bukanlah jawaban yang jitu. Tetapi seberapa besar argumen emosional itu dikemukakan masih cukup relevan, jika disangkutpautkan dengan fakta atau peristiwa lain. Tetapi "masalah Ahok" sudah emosional terjadi paradoks di dalamnya.
Masalahnya pun bukan soal Syariah Islam atau tidak, sentimen rasial anti cina atau tidak. Bukan itu. Ini semua hanya alat propaganda. Paradoks misal anti Cina kafir yang ditujukan ke Ahok tetapi sujud pada Harry Tanoe, atau sebaliknya cap Liberal dan Syiah yang disematkan pada Anies, tapi dianggap akan membawa DKI Jakarta bersyariah. Pertentangan yang tidak masuk akal sehat.
Saumiman Saud mengatakan, harus diakui, bahwa Jakarta mengalami banyak perubahan di bawah kepemimpinan Ahok, misalnya PKL yang biasanya berkerumun berjualan di tanah Abang sudah ditata dan dipindahkan
Masyarakat yang tinggal di bantara kali  dan biasa menempati tempat banjir seperti kampung Pulo sudah dipindahkan ke rumah susun yang berbentuk apartement, taman-taman yang biasanya tidak terawat telah direhab dan dibangun kembali menjadi taman yang ramah terhadap anak, diisi dengan perpustakaan
Selain itu kita melihat bagaimana sungai dan waduk sudah dikeruk terus dan tatkala hujan tidak sampai 6 jam airnya sudah surut kembali. Bagian perparkiran ditertibkan, bus transport ditambah dan diganti yang baru, adanya pemberia Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar untuk membantu masyarakat miskin dan sejumlah gebrakan lain bidang pelayanan
Kini Ahok memang tidak lagi menjadi Gubernur  DKI Jakarta, setelah gagal terpilih akibat kasus penistaan agama yang memaksanya duduk di kursi pesakitan dan menjebloskannya mendekam di penjara. Tapi sosok Ahok tidak pernah pudar jadi bahan pembicaraan dan perpolitikan Indonesia. Sosok pemimpin yang tetap dikagumi, terutama di mata mereka (masyarakat)  yang mencintai Ahok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H