Salah satu persoalan yang menjadi bahan pembicaraan dan kajian di acara Musyawarah Nasional alim ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Lombok beberapa waktu lalu adalah masalah ekonomi dan kesejahteraan, terutama terkait pengelolaan dan penguasaan lahan di tengah masyarakat yang masih diwarnai ketimpangan dan praktik kecurangan
Keberadaan lahan, sebagaimana amanat Undang - undang seharusnya sebesar - besarnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, justru dimonopoli dan dikuasai beberapa gelintir orang kaya, kaum pemodal, melanggengkan kekuasaan, menciptakan ketimpangan di tengah masyarakat
Parahnya, eksploitasi, monopoli dan penguasaan lahan oleh para pemodal tersebut, sebagian dilakukan justru atas restu pemerintah, terutama pemerintah daerah, melalui kewenangan dimiliki demikian mudah mengeluarkan perizinan tanpa kendali.Â
Atas nama pembangunan, menciptakan kesejahteraan masyarakat dan Investasi menjanjikan, masalah lahan dan perizinan bisa dikondisikan
Selain kawasan hutan dan lahan pertanian, praktik eksploitasi lahan paling banyak berlangsung di kawasan pariwisata yang tidak jarang menimbulkan ketimpangan dan gesekan yang berujung terjadinya konflik dan sengketa lahan antara masyarakat sekitar kawasan dengan pengusaha dan pemerintah, melibatkan aparat keamanan
Sepanjang sejarah proseses penguasaan lahan atas nama pembangunan memang senantiasa menyisakan persoalan di tengah masyarakat. Alih - alih menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, penguasaan, alih fungsi lahan justru semakin membuka lebar terjadinya ketimpangan dan kesenjangan sosial
Pembangunan bandara Lombok Internasional Airport (LIA), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika adalah sebagian kecil dari penguasaan lahan atas nama pembangunan oleh negara yang menyisakan banyak kisah memilukan dan konflik berkepanjangan dari masyarakat korban pembangunan
Mengutip hasil Munas dan Kombes NU, Sekitar 16 juta hektar tanah dikuasai 2.178 perusahaan perkebunan, 5,1 juta hektar di antaranya dikuasai 25 perusahaan sawit. Jumlah petani susut dari 31 juta keluarga tani menjadi 26 juta, dua pertiganya adalah petani yang terpuruk karena penyusutan lahan dan hancurnya infrastruktur pertanian. 15,57 juta petani tidak punya lahan
Kebijakan Redistribusi Lahan
Eksploitasi dan monopoli lahan secara berlebihan atas nama pembangunan yang kebanyakan dinikmati beberapa gelintir orang, selain bisa mengakibatkan semakin meningkatnya ketimpangan juga secara nyata mengancam sendi-sendi kehidupan kebangsaan
Rais Aam PBNU yang juga Ketua Majlis Ulama Indonesia, Prof. KH. Ma'ruf Amin dalam sambutan di acara Munas alim ulama dan Kombes NU di Mataram mengingatkan pemerintah, bahwa selain faktor pemahaman keagamaan, ketimpangan ekonomi merupakan lahan  subur bersemainya ekstrimisme dan  radikalisme di tengah masyarakat
Salah satu upaya mengikis ketimpangan serta mencegah eksploitasi dan monopoli lahan secara berlebihan, pemerintah perlu mengawal agenda pembaruan agraria, tidak terbatas pada program sertifikasi tanah, tapi redistribusi tanah untuk rakyat dan lahan untuk petani
Termasuk program pembaruan agraria meliputi, pembatasan penguasaan, kepemilikan, masa pengelolaan lahan, baik lahan pertanian maupun kawasan hutan, khususnya bagi perusahaan dan korporasi, yang selama ini tidak berjalan baik, dimana pemerintah belum memiliki komitmen kuat menjadikan tanah sebagai hak dasar warga negara
Kebijakan Presiden Jokowi terkait penerbitan izin pengelolaan dan pemanfaatan hutan oleh masyarakat menjadi perhutanan sosial saya kira sebagai kebijakan  tetap dan bagian dari upaya melakukan redistribusi lahan dan mengurangi ketimpangan sosial dengan tetap memastikan kelestarian lingkungan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H