Hampir enam bulan terakhir, saya berada di Negeri Paman Sam, menemani suami studi lanjut. Tinggal di negeri yang kerap disebut dengan “The Land of Dreams”, membuat saya begitu mudahnya bertemu dengan orang-orang baru dari berbagai belahan dunia. Mereka datang ke Amerika Serikat (AS) dengan berbagai tipe dan cara. Ada yang datang berstatus imigran legal menggunakan Green Card, pengungsi (refugee), visitor dengan beragam tipe visa, atau malah datang dan tinggal secara ilegal.
Harapan para pendatang itu rata-rata sama, yakni ingin meraih kehidupan yang lebih baik. Meski kota yang saya tinggali hanyalah sebuah kota kecil di negara bagian Ohio, namun itu tak mengurungkan niat pendatang untuk merajut mimpi-mimpi indahnya. Tak heran bila di kelas bahasa yang saya ikuti, acapkali saya ditanya oleh rekan-rekan mengenai rencana mendatang. Apakah nantinya hendak kembali ke Indonesia ataukah ingin menjadi warga negera AS. Dengan tegas saya menjawab akan kembali ke Indonesia, karena masih cinta pada tanah air.
Mendengar jawaban itu, tanggapan mereka pun beragam. Ada yang memahami, namun ada pula yang meragukan rencana tersebut. Menilik masa tinggal saya yang baru dalam hitungan bulan, beberapa dari mereka yakin, seiring waktu keputusan saya pasti akan berubah. Mereka memprediksi pada akhirnya saya akan jatuh cinta pada AS dan memutuskan mengubah kewarganegaraan. Saya hanya bisa tersenyum. Kita lihat saja nanti, kata saya dalam hati.
Rekan-rekan di kelas saya memang rata-rata imigran ataupun pengungsi yang sedari awal berkeinginan menjadi warga negara AS. Tak heran bila mereka ragu dengan keinginan saya yang berbalikkan dengan tujuan mereka. Mereka tidak tahu bahwa sejatinya saya tetap Indonesia, dimanapun saya berada. Sebelumnya ketika sempat tinggal di Jerman selama dua tahun, pindah kewarganegaraan tak pernah mampir di pikiran kami. Kami tetap ingin kembali dan berkontribusi bagi kemajuan tanah air.
Meski tinggal di negeri orang, keterikatan dan kecintaan kami pada tanah air tetaplah kuat. Misalnya dalam soal makanan, hampir tiap hari kami masih mengkonsumsi nasi. Tanpa menyantap makanan utama itu, rasanya perut masih saja keroncongan. Di rumah juga selalu tersedia kecap manis buatan Indonesia yang kami beli di toko Asia terdekat. Bagi suami saya, makan belumlah lengkap jika tidak ditemani beberapa tetes kecap manis. Bahkan makan pizza atau spaghetti sekalipun, ia tetap minta tambahan kecap.
Persediaan bumbu khas Indonesia, seperti: terasi, bumbu pecel, bumbu rendang dan bumbu-bumbu khas Indonesia lainnya juga menjadi pengisi lemari dapur kami. Tak heran bila hidangan ala Indonesia menjadi menu yang sering kami santap. Hidangan itu misalnya: nasi campur, siomay, pecel, tempe goreng lengkap dengan sambal terasinya, sambal goreng kentang, telor dan terong balado, rendang telor, lumpia basah, perkedel, pisang coklat dan pisang goreng. Bubur kacang hijau dan kolak pisang pun kerap kami santap saat cuaca dingin melanda. Ya, semua itu kami lakukan demi menepis rindu kami pada tanah air.
Saya dan suami juga berusaha tetap mengikuti berita-berita yang sedang hangat di tanah air. Dari isu politik sampai isu ringan seperti kasus Briptu Norman, semuanya kami nikmati. Beberapa program talkshow favorit kami semasa di tanah air juga masih kami saksikan secara online melalui internet. Guna mengasah kemampuan menulis, saya pun berusaha membaca dan menyempatkan diri nge-blog di Kompasiana. Bahagia rasanya bisa sejenak “kembali” berada di Indonesia, meski hanya lewat dunia maya.
Untuk urusan telepon seluler, selain membeli nomor lokal, kami juga tetap mengaktifkan nomor Simpati. Dengan cara itu, keluarga dan teman-teman di tanah air tetap bisa mengirim SMS ke kami dengan tarif normal. Pada situasi yang mendesak, SMS bisa langsung kami balas. Namun jika masih ada cara lain, kami tindaklanjuti dengan berkomunikasi lewat email, situs jejaring sosial, ataupun fasilitas chatting lainnya. Bagaimana jika pulsa habis? Mudah saja, karena kami tinggal mengisinya lewat fasilitas Internet Banking.
Kami berdua benar-benar diuntungkan dengan daya jelajah Telkomsel yang hampir tak berbatas itu. Dibantu provider rekanannya yang tersebar di seluruh dunia, hampir tak pernah kami dapati status blank spot atau no signal di layar handphone. Bahkan ketika akhir Maret lalu suami saya berkesempatan pergi ke India untuk mempresentasikan karya ilmiahnya, telepon seluler bernomor Simpati-lah yang menjadi salah satu andalan komunikasi kami.
Slogan Telkomsel sebagai provider “Yang Paling Indonesia” tidaklah berlebihan. Setidaknya itulah yang kami rasakan. Seperti batik yang dengan bangga kami kenakan di berbagai situasi formal maupun informal, kami pun tak malu mengakui bahwa kami adalah pelanggan setia Telkomsel. Telkomsel telah membantu kami tetap ingat pada Indonesia, dimanapun kami berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H