Setahun lalu, saat suami mendapat kepastian beasiswa Fulbright-nya, saya mulai mencari informasi pengurusan visa Amerika Serikat (AS). Dengan bantuan mesin pencari, saya berhasil berkenalan dengan empat orang muslimah yang sedang bermukim di AS. Kesemuanya berada disana untuk menemani suami mereka yang sedang studi. Dari merekalah saya mendapat banyak informasi dan masukan mengenai cara pengurusan visa AS untuk dependent. Bahkan dua diantaranya membuat blog khusus sebagai sumber informasi bagi para dependent Fulbrighter dengan jenis visa J2.
Sedari awal, yang menjadi perhatian saya adalah masalah jilbab. Menurut informasi yang saya dengar, para muslimah berjilbab harus rela memperlihatkan telinga di foto yang dipergunakan untuk aplikasi visa. AS. Tiga diantara empat muslimah yang saya sebutkan di atas, membenarkan informasi tersebut. Kabar baiknya, satu dari mereka berhasil mendapatkan visa AS dengan tetap berjilbab lengkap, tanpa memperlihatkan telinganya. Sayangnya muslimah tersebut mengurus visa di Konsulat Jenderal AS di Surabaya, Jawa Timur. Sementara saya sendiri hendak mengurus visa di Kedutaan Besar AS di Jakarta.
http://mypotret.files.wordpress.com/2008/07/jilbab.jpg
Beberapa tahun sebelumnya, ada salah satu rekan saya yang berhasil membuat visa di Kedubes AS dengan tetap menutup telinganya. Beliau seorang wartawan di salah satu majalah muslimah yang berangkat karena undangan dari salah satu institusi pemerintah AS. Jadi menurut saya, posisi rekan saya saat itu cukup kuat, karena “diundang”. Bukan seperti saya yang dalam posisi “meminta”. Keresahan sedikit melanda, sebab di banyak blog yang saya kunjungi hampir tidak saya temukan pengalaman mengurus visa AS dengan tetap berjilbab lengkap. Rata-rata menginformasikan harus memperlihatkan telinga saat berfoto.
http://mypotret.files.wordpress.com/2008/07/jilbab21.jpg
Waktu pun berlalu. Pada akhir Agustus 2010, suami saya berangkat lebih dulu ke AS. Karena terlambat mengurus persyaratan, saya berlapang hati harus berpisah dengannya selama beberapa waktu. Setelah suami sampai di AS dan perkuliahannya sudah aktif berjalan, saya pun mulai mengurus semua hal yang dibutuhkan untuk visa. Dari DS2019, terjemahan dokumen, asuransi, sampai jaminan bank untuk hidup saya selama setahun.
Selesai pengurusan dokumen, tiba waktunya saya harus berfoto sebagai salah satu syarat aplikasi visa. Saya mengunjungi studio “J” di bilangan Jln. Agus Salim (lebih beken dengan sebutan Jalan Sabang), Jakarta Pusat. Studio tersebut biasa membuat foto untuk aplikasi visa AS. Sang Fotografer memahami pilihan saya untuk tetap berjilbab lengkap, namun pilihan tersebut sempat dipertanyakan oleh Editor Foto (yang sepertinya pemilik studio tersebut). Ia bertanya apakah masalah telinga tertutup tersebut sudah dipastikan boleh tidaknya. “Kan tidak lucu kalau kamu disuruh balik kesini cuma gara-gara masalah foto,” begitu katanya.
Saya menjawab, bila fotonya nanti ditolak oleh Kedubes AS, saya akan foto ulang disana. Ia pun akhirnya mengerti. Sambil mengedit foto, ia mengajak berbincang mengenai rencana keberangkatan saya ke AS.
Setelah foto jadi, di awal November 2010 saya mengisi formulir online DS160. Dua minggu kemudian, saya mendatangi Kedubes AS di hari Senin pagi. Beruntung saya tidak perlu membuat janji terlebih dahulu, karena status saya sebagai dependent seorang Student. Saya berangkat sepagi mungkin agar terhindar dari antrian panjang para pelamar.
Dengan penuh kesabaran, saya melewati beberapa tahap antrian. Saat mengantri, saya sempat mengobrol dengan seorang muslimah. Ia mengatakan, fotonya juga memperlihatkan telinga. Duh, rasanya makin was-was. Meski begitu, saya coba meyakinkan diri bahwa nantinya tidak akan ada masalah dan permohonan visa saya akan disetujui hari itu juga.
Waktu wawancara pun tiba. Pewawancara menanyakan beberapa hal mendasar mengenai data pribadi saya dan suami, mengapa saya hendak tinggal di AS, dan berapa lama akan tinggal disana. Intinya menyocokkan data-data yang sudah saya isikan di formulir online DS160. Di akhir wawancara, saya sempat melihatnya membolak-balik berkas saya dan berdiskusi dengan rekan di sebelahnya. Sepertinya ia meragukan sesuatu. Saya berpikir, jangan-jangan masalah foto. Demi menenangkan hati, saya terus berdoa dalam hati. Mudah-mudahan tidak ada aral dan tak harus foto ulang. Apalagi di paspor lama ada visa tinggal di Jerman, dimana disitu saya pun tetap berjilbab lengkap. Semoga itu cukup meyakinkan dan Insya Allah tak jadi masalah, begitu sugesti saya.
Beberapa menit menanti, akhirnya Pewawancara berkata, “OK, Mam. You can take your Visa on 18.” Maksudnya tanggal 18 November 2010. Alhamdulillah, berkali-kali saya ucapkan itu. Saya bersyukur karena berani mencoba berjilbab lengkap. Jika menyerah di awal, saya tentu tak akan tahu bahwa hal itu ternyata diperbolehkan. Bahkan ketika saya sudah sampai di AS dan mencoba membuat ijin kerja, jilbab pun tidak dipermasalahkan.
Saya tahu membuat visa AS tidaklah mudah. Kadang-kadang ditolak karena sesuatu yang kita sendiri tidak tahu alasannya. Saya juga tidak tahu pasti apakah memang diperbolehkan berjilbab lengkap untuk pengurusan visa AS. Semoga memang begitu peraturannya. Bukan hanya berlaku untuk saya, tapi juga untuk semua muslimah yang berjilbab.
Note: dua foto pertama saya ambil dari weblog Toni Wahid. foto ketiga adalah foto saya (maaf sedikit diburamkan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H