Mohon tunggu...
tunggul
tunggul Mohon Tunggu... Lainnya - menulis tanpa bakat

no hobbies required

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepuh

16 Januari 2025   11:10 Diperbarui: 16 Januari 2025   11:10 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wagiyo menyeruput kopinya perlahan. Menatap tajam pada Sugiyo yang baru saja membuat statemen sambil mengunyah pisang goreng hangat.

Warung kopi mak Suniah sudah lumayan sepi. Tadi memang ramai sekali. Namun sebagian besar sudah pergi menjemput harinya masing-masing. Tinggal Wagiyo dan Sugiyo saja, dua pensiunan tua yang bersahabat sejak dulu.

"Ya gak bisa donk. Sepuh itu pada intinya sekedar istilah saja. Kalo masih cuilik namanya balita, gede dikit anak atau bocah. Tambah gede lagi ya remaja. Lalu selanjutnya pemuda atau pemudi dan setelahnya adalah dewasa. Terakhir barulah tua atau sepuh seperti kita-kita ini", Begitu protes Wagiyo sambil ikut mengambil satu pisang goreng hangat dari piring lebar itu. Kakinya yang satu diangkat ditekuk suantai banget, ciri khas pensiunan gabut di pagi hari.

"Seperti kata wong londo itu, 'what is in the name', ya berarti khan cuma sekedar istilah saja. Sejatinya yang namanya makaryo itu ya bisa dimasa kecil, remaja atau tua. Iyo tho?", lanjut Wagiyo.

"Gayamu pake istilah what is in the name segala. Lha sepuh itu yo ono peribahasanya, 'habis manis sepuh dibuang'. Bukankah banyak manusia sepuh yang berakhir di panti jompo ?", suara Sugiyo tidak jelas karena ngomong sambil mengunyah pisang yang ternyata masih lumayan panas.

"Sepah kale..!", mak Suniah menimpali pakai bahasa sok gaul jaman naw. Wajah tuanya tidak berhasil menyembunyikan kecantikan masa muda dulu. Itu juga barangkali yang membuat warungnya ramai pembeli, dan itu juga mungkin yang membuat kedua lelaki sepuh itu senang berlama-lama disitu.

Sugiyo tersenyum manis banget (menurut dia), sementara Wagiyo justru mencibirkan bibir bawahnya maju sekitar 12 meter pas.

"Keris itu di'sepuh' biar tajam. Tanpa itu, ia belum bisa disebut keris. Maka, sepuh itu puenting banget. Menjadi sepuh, adalah periode puncak dari seorang manusia ketika pengalaman berhasil membuatnya menjadi matang dan bijaksana", Sugiyo melanjutkan ceramah paginya. Cangkir Wedang kopi beraroma harum diangkatnya, dicium semerbak wangi kopi dan diseruputnya perlahan. Wuidih, nikmat banget rasanya.

Wagiyo menyimak dan sepertinya setuju. Entah karena ia jadi merasa 'matang' dan 'bijaksana' atau terpesona oleh wajahnya mak Suniah yang seperti menolak tua. "Memang mestinya wong tuwo itu ya nuek'i (orang tua itu 'dituakan'). Menjadi panutan bagi yang muda dan bukannya malah disingkirkan ke panti jompo", Wagiyo memberikan pendapatnya.

Mak Suniah tertunduk sendu. Ia mendengar itu dan hatinya bagai pecah terburai. Baru kemarin ia bersepakat dengan anak-anaknya yang jauh merantau, bahwa ia setuju pindah ke rumah jompo saja.

"Daripada di rumah gak ada yang mbantuin mak", begitu kemarin ujar anaknya kedua via conference call. Anak pertama dan ketiga terlihat mengangguk-angguk setuju. Mereka semua ingin ibundanya menikmati masa tua dengan tentram. Tanpa harus disibukkan urusan rumah. Tanpa harus mencari nafkah lagi dengan melayani pembeli di warung ini. Warung yang digagas almarhum suaminya sejak 30 tahun lalu dan sudah menjadi ladang pencahariannya hingga kini. Bahkan dari hasil warung inilah ia bisa menghidupi keluarganya yang kini sudah berhasil masing-masing.

5 tahun terakhir ia melanjtkan hidup tanpa sang suami. Anak-anaknya yang semua sudah sukses, sangat mengkhawatirkan dirinya. Panti jompo adalah pilihan terbaik menurut mereka. Dimana ia tidak perlu ngapa-ngapain lagi. Itu menurut mereka.

"Lha kok nangis mak? kita ada salah ucap?", Wagiyo tiba-tiba sudah ada didekatnya.

Mak Suniah tergagap sadar dari lamunan sedetiknya. Menusap mata yang basah sambil memasang senyum tanda "gak ada apa-apa kok" sambil berucap, "eh anu, keno lombok kayaknya. Wis minggat sana kalian berdua. Wagiyo, kamu itu opo gak takut apa sama isterimu. Nanti tak laporne yu ijah yo, sampai siang masih nongkrong disini. Juga kamu Sugiyo, pitik-pitikmu diopeni dulu sana. Aku mau tutup cepet nih", mak Suniah berkelit sambil bergaya sibuk berbenah.

Wagiyo dan Sugiyo saling berpandangan maklum. Isu mak Suniah bakal ke panti jompo sudah merebak ditelinga mereka sejak 1-2 bulan lalu. Mereka menghargai keputusan keluarga itu. Tak ingin merusak suasana, keduanya kini beranjak berdiri, membayar dan pamit pargi.

Mentari makin meninggi saat keduanya melangkah meninggalkan warung mak Suniah. Tanpa tahu bahwa esok hari, tak akan ada lagi mak Suniah disitu. Ataukah mereka akan mengunjungi mak Suniah di kediaman baru di panti jompo di kota sana? Biarlah mentari tertawakan mereka bertiga. Para sepuh yang sudah tidak terlalu diinginkan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun