Mohon tunggu...
tunggul
tunggul Mohon Tunggu... Lainnya - menulis tanpa bakat

no hobbies required

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Senja di Masjid Nabawi

27 Maret 2024   08:57 Diperbarui: 27 Maret 2024   09:09 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat senja menyapa, cahaya keemasan mentari perlahan meredup, membiarkan langit menyelimuti Madinatur Rasul dengan nuansa keemasan yang menyejukkan. Di semua pelataran Masjid Nabawi, gemerlap cahaya lampu mulai menghiasi sekelilingnya, menambah keanggunan pada bangunan suci itu.

Langkah kami berdua beseiring, aku dan isteriku, menapaki lantai pelataran yang basah sisa hujan gerimis tadi. Dari hotel yang kami tempati, hanya perlu sebentar saja menuju gerbang 339, gerbang masuk masuk yang menjadi saksi setia kehadiran kami disini. Dari situ kami terus melangkah menuju Pintu 25, tempat masuknya jamaah wanita kedalam masjid agung ini.

Burung-burung merpati terbang riang berkelompok di sekitar gerbang 339. Mereka berkumpul dengan damai, menciptakan orkestra alam yang menenangkan, menentramkan. Pemandangan yang membasuh hati dengan kesejukan dan kegembiraan.

Sementara itu, langit semakin memudar ke arah barat, menciptakan lukisan alam yang mengagumkan dengan warna-warna keemasan dan jingga. Udara pun mulai terasa sejuk, merangkul setiap langkah kami dengan hangatnya senja yang merayakan keindahan ciptaan Tuhan.

Dalam momen indah itu, kami merasakan kehadiran Yang Maha Kuasa yang begitu dekat, seperti memeluk kami dengan kasih-Nya di bawah sinar senja yang memancar keanggunan dan kedamaian. Itulah saat-saat yang selalu kami nantikan setiap hari di bumi yang penuh berkah ini, bersama-sama merenungi kebesaran-Nya di antara keindahan senja di Masjid Nabawi.

Orang-orang berjalan ramai. Mereka dari segenap penjuru dunia dengan satu tujuan pasti, beribadah kepada-Nya. Sungguh pemandangan yang menggugah jiwa.

Dan tiba-tiba terdengar seruan, "Indonesia...!" Panggilan itu memecah keheningan dengan lembut namun cukup tegas untuk menarik perhatian kami. Dengan penuh rasa ingin tahu, kami menoleh ke arah sumber suara, dan tampaklah seorang bapak sepuh berjalan tertatih perlahan menuju kami, tanpa alas kaki.

Tanpa ragu, aku segera melangkah mendekat, memapah agar beliau tidak terpeleset di pelataran yang masih basah akibat hujan gerimis beberapa waktu lalu. Pelataran ini memang sangat luas, menjadi salah satu yang terluas di dunia, namun kini sedikit licin karena sisa-sisa hujan. Bapak sepuh itu nampak tidak menggunakan alas kaki, membuat langkahnya semakin berhati-hati.

Sambil berjalan beliau menceritakan bahwa sejak selesai shalat Ashar, ia telah menunggu hingga waktu Maghrib tiba, sementara rombongannya kembali ke hotel. Beliau baru saja tertidur sejenak dan tiba-tiba terjaga, menyadari bahwa ia perlu memperbarui wudhu. Namun, kini beliau lupa tempat meletakkan sandalnya. Aku dan isteriku terkejut. Sadar akan banyaknya rak alas kaki di Masjid Nabawi, yang mungkin mencapai ratusan, dan semuanya tampak serupa: berwarna putih, rendah sekitar setengah meter saja, dan tersusun berkelompok di setiap pintu masuk.

Mendekati pintu 25, salah satu pintu masuk bagi jamaah wanita di Masjid Nabawi. Sejak hari pertama kami tiba di tempat suci ini, aku dan isteriku telah sepakat untuk saling menanti di bawah tiang kipas besar di depan Pintu 25. Ketika tiba di sana, isteriku memberiku salam perpisahan sambil berkata, "Ayah, jaga Bapak ya." Aku mengangguk faham. Namun, kepala ini terus dipenuhi pertanyaan: bagaimana cara membantu Bapak sepuh ini?

Aku bertanya kepada beliau, mungkin saja masih mengingat di mana beliau meletakkan sandalnya.

"Anu Le, aku tadi taruh di rak sepatu deket pintu masuk. Rak sepatu werno puteh ngono. Sisan karo peciku aku taruh di atasnya," ujar beliau dengan bahasa Jawa halus. Aku pun bergegas melihat tag name yang selalu digantungkan di leher setiap jamaah haji. Aku ingat cerita Muttawif, bahwa pada name tag tidak hanya tertera identitas jamaah, tapi juga nomor penting yang bisa dihubungi saat mendesak. Jelas bagiku, ini bukan sekadar masalah sendal yang hilang, melainkan jamaah yang terpisah dari rombongannya. Hatiku jadi gelisah. Bagaimana caranya menemukan rombongan beliau di antara begitu banyak orang di sini, yang berasal dari seluruh belahan dunia?

Saat senja semakin menghampiri, dan semakin banyak jamaah yang datang untuk shalat Maghrib, aku melihat nomor darurat di nametag beliau. "Baik, nanti mungkin aku bisa menghubungi nomor ini. Sekarang, tenang dulu. Mari kita cari sendal dan peci beliau," batinku sambil berusaha menenangkan diri. Sementara itu, sang Bapak sepuh terlihat tenang dan bahagia. Mungkin merasa aman karena bertemu dengan orang sebangsa? Padahal kutahu bahwa tidak sedikit orang Indonesia di sini. Tapi memang lebih banyak juga dari negeri-negeri lain.

Kami kemudian memasuki pintu utama, Pintu 21-22 bagi jamaah pria. "Monggo pak, mari kita mulai mencari dari sini," ujarku sambil membimbing beliau memperhatikan rak-rak sepatu yang berjajar. Fokusku adalah sandal yang di atas ada peci hitam. Namun, tak satupun peci hitam terlihat di antara rak-rak sepatu yang banyak itu. Kami terus mencari hingga aku mulai merasa khawatir. Jamaah semakin banyak, dan adzan Maghrib tak lama lagi berkumandang.

"Pak, mungkin kita bisa mencari shaff yang belum penuh terlebih dahulu. Nanti setelah shalat kita cari kembali sendal dan pecinya," usulku kepadanya. Beliau mengangguk setuju, dan kami pun berjalan maju mencari shaff kosong yang nyaman untuk melaksanakan shalat Maghrib. Menoleh kiri dan kanan semua sudah ramai. Lalu kulihat sebuah shaff yang lumayan kosong di sisi kiri di depan sana. "Monggo pak, mari kita kesana," kataku sambil menunjuk shaff kosong tersebut, dan kami berdua melangkah permisi menuju ke sana.

Namun, tiba-tiba terdengar sebuah seruan, "Pak Warsudi..!" Aku dan Bapak sepuh menoleh ke arah suara tersebut. Kulihat di sana berjajar sebuah rombongan dengan seragam batik serupa. Mereka adalah rombongan dari Indonesia. Jumlahnya mungkin sekitar 8 sampai 12 orang, kebanyakan sudah berusia sepuh. Tanpa ragu, kami berdua melangkah menuju mereka.

Seorang pemuda dari rombongan itu berdiri dan menyambut kami, "Pak Warsudi, njenengan dari mana? Ini siapa yang bersama njenengan?" tanyanya ramah. Pak Warsudi hanya tersenyum lebar sambil ikut duduk, disambut oleh teman-teman rombongannya. Aku kemudian menjelaskan singkat kepada pemuda itu tentang pertemuan kami dengan Pak Warsudi. Kuakhiri dengan pesan agar nanti selepas maghrib mencari sendal dan peci beliau. Pemuda itu mengangguk faham.

"Wah, matur nuwun pak. Tidak masalah, kami nanti akan mencari bersama-sama sendal dan peci. Jika tidak ketemu, kita akan belikan nanti. Gampang saja itu?" ujar pemuda itu dengan tulus. Aku merasa lega. Maka, aku memutuskan untuk meminta izin dari situ. Aku merasa masih sempat untuk mendapatkan tempat agak di depan, di mana aku bisa melihat kubah hijau kesayanganku.

"Saya permisi dulu kalau begitu. Monggo Pak Warsudi, dan semua Bapak-bapak," ucapku sambil menundukkan kepala takzim. Mereka pun menjawab dengan ucapan 'matur nuwun'. Aku kemudian melangkah ke depan, mencari shaff kosong. Ini lebih mudah karena hanya untukku sendiri. Shaff di mana aku bisa memandang kubah hijau yang begitu megah. Aku tahu, di bawahnya adalah makam baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Adzan Maghrib berkumandang dengan gemanya, membelai telinga yang haus akan keindahan suara azan. Aku menjalani ritual ibadah dengan penuh khidmat. Dan seperti sebelum-sebelumnya, lagi-lagi, airmata tak terbendung membasahi pipi, menetes dengan lirihnya, seakan mengiringi keharuan hati yang tercipta di dalam masjid ini. Sungguh, betapa indahnya shalat di bumi yang dipenuhi berkah ini.

Barulah setelah shalat Maghrib usai, aku tersadar akan keajaiban yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin kami tadi bisa bertemu dengan rombongan beliau? Orang-orang begitu banyak di sini, dan yang berseragam pun tak terhitung jumlahnya. Seragam batik yang dikenakan oleh Pak Warsudi dan rombongannya adalah pemandangan yang biasa di tengah keramaian ini. Lalu bagaimana jika tidak bertemu rombongannya? Bisakah aku mengantar beliau ke hotelnya? Padahal akupun tak tahu kiri kanan di negieri ini.

Airmataku kembali menetes, bukan karena kesedihan, melainkan kekaguman akan kebesaran Allah SWT yang telah mengatur pertemuan ini di tengah keramaian dunia. Terima kasih pak Warsudi, untuk menjadi malaikatku di sore tadi.

Di Masjid Nabawi ini, nyaris setiap detik, setiap hembusan napas, dan setiap langkah yang diambil, dipenuhi dengan keajaiban-Nya yang tiada tara. Sungguh, di sini, di tempat ini, hati ini merasakan kedamaian yang tak terungkapkan, dan roh ini merasakan kehadiran Yang Maha Kuasa dengan begitu nyata. Terimakasih, Ya Allah, atas segala berkah dan keindahan-Mu yang tak pernah berkesudahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun