Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura menekankan bahwa perilaku manusia bukanlah sekadar respons pasif terhadap informasi yang diterima, melainkan hasil dari proses proaktif dalam pengambilan keputusan dan pembentukan makna berdasarkan interaksi sosial serta identitas yang dikonstruksi.Â
Teori ini menyoroti bagaimana individu belajar melalui observasi terhadap lingkungan sosial mereka, termasuk bagaimana mereka menginternalisasi norma, nilai, serta peran yang diharapkan dalam masyarakat.Â
Dalam konteks STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), identitas STEM seseorang memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan sejauh mana mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari komunitas STEM serta bagaimana mereka menavigasi pengalaman belajar dan karier di bidang ini.
Identitas STEM dikonstruksi melalui dua tahap utama yang saling berkaitan. Pertama, individu membentuk persepsi tentang diri mereka sendiri dalam konteks STEM dengan mengidentifikasi diri mereka dengan figur atau arketipe tertentu yang mereka temui dalam lingkungan sosial, terutama melalui media.Â
Figur-figur ini bisa berupa ilmuwan terkenal, insinyur sukses, atau bahkan karakter dalam film dan serial televisi yang mewakili sosok yang berkiprah di bidang STEM. Jika individu menemukan kemiripan antara diri mereka dan figur-figur ini---baik dari segi latar belakang, gender, atau pengalaman hidup---maka mereka lebih cenderung untuk mengaitkan diri dengan peran STEM tersebut dan mempertimbangkan STEM sebagai jalur karier yang mungkin untuk mereka tempuh.
Tahap kedua dalam konstruksi identitas STEM melibatkan observasi terhadap bagaimana lingkungan sosial memperkuat atau melemahkan figur-figur STEM yang mereka temui.Â
Penguatan ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari penghargaan sosial terhadap individu yang berhasil di bidang STEM hingga representasi positif dalam media dan sistem pendidikan.Â
Misalnya, ketika seorang siswa melihat bahwa ilmuwan perempuan dihormati dan dihargai atas kontribusinya dalam penelitian, mereka lebih mungkin untuk mempertimbangkan STEM sebagai jalur yang layak, terutama jika mereka juga seorang perempuan.Â
Sebaliknya, jika individu melihat bahwa figur STEM dari latar belakang tertentu sering kali mendapatkan hambatan atau diskriminasi, mereka mungkin akan mengalami keraguan dalam mengidentifikasi diri mereka dengan STEM.
Identitas STEM yang terbentuk ini memiliki dampak yang luas terhadap cara individu berpartisipasi dan bertahan dalam bidang STEM. Mereka yang memiliki identitas STEM yang kuat cenderung menunjukkan ketekunan yang lebih besar dalam menghadapi tantangan akademik dan profesional, serta lebih percaya diri dalam mengejar peluang karier di bidang tersebut.Â
Sebaliknya, mereka yang merasa bahwa STEM bukanlah "tempat" mereka mungkin akan lebih rentan terhadap sindrom penipu (impostor syndrome) atau bahkan meninggalkan bidang STEM meskipun memiliki kemampuan yang cukup untuk berhasil.