Sepuluh menit kemudian, kita mulai mempertanyakan hubungan kita dengan orang tersebut. "Apa aku pernah salah bicara?" Satu jam, dua jam, satu hari, dan chat itu tetap tak berbalas. Hati mulai panas.
Di titik ini, beberapa orang memilih untuk mengirim chat lanjutan. "Eh, udah dibaca belum?" atau versi lebih dramatisnya, "Kalau aku ada salah, bilang aja, jangan diemin gini."Â
Tapi sebagian orang memilih diam dan hanya bisa menunggu dalam kepasrahan, sambil terus memeriksa WhatsApp apakah dia sedang online atau tidak.
Yang paling tragis adalah ketika kita melihat mereka aktif di media sosial. Story Instagram-nya update, status WhatsApp-nya ganti, bahkan mereka baru saja nge-like postingan seseorang. Tapi chat kita? Masih tak terbalas.Â
Ini adalah momen di mana seseorang bisa berubah menjadi detektif digital, mulai dari menganalisis pola online mereka sampai mencoba memahami kode-kode tersembunyi dalam postingan mereka.
Menghadapi Kenyataan: Move On atau Tetap Berharap?
Pada akhirnya, kita harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua chat akan mendapatkan balasan yang kita harapkan. Daripada terus menunggu dalam ketidakpastian, mungkin lebih baik mulai menerapkan prinsip "dibalas syukur, nggak dibalas ya sudah."Â
Dunia ini luas, masih banyak orang yang akan dengan senang hati membalas chat kita tanpa perlu menunggu berjam-jam atau berhari-hari.
Atau kalau memang chat yang tak dibalas ini terlalu menyakitkan, ada cara ekstrem lain: matikan fitur centang biru. Dengan begitu, kita bisa hidup lebih damai, tanpa perlu merasa diabaikan.Â
Kalau tidak tahu apakah chat kita sudah dibaca atau belum, kita juga tidak perlu memikirkan alasan-alasan absurd untuk membenarkan tindakan orang lain.
Pada akhirnya, fenomena centang biru ini bukan sekadar soal pesan yang tak dibalas, tapi juga tentang ekspektasi dan hubungan antar manusia.Â