Rumah Pendidikan, platform baru yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, hadir dengan ambisi besar untuk menjadi solusi utama dalam memperbaiki akses, kualitas, dan kolaborasi di dunia pendidikan. Namun, ketika dihadapkan dengan kenyataan di lapangan, platform ini mengundang pertanyaan kritis: apakah benar Rumah Pendidikan mampu menjawab tantangan fundamental pendidikan Indonesia, atau justru menambah kompleksitas tanpa dampak nyata?
Digitalisasi pendidikan memang menjadi arah yang tidak bisa dihindari di era teknologi ini. Namun, pendekatan seperti Rumah Pendidikan harus dilihat dengan lebih hati-hati. Ada banyak narasi besar yang dibangun seputar platform ini, mulai dari janji inklusi hingga peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh. Tetapi, ironisnya, narasi ini sering kali mengabaikan masalah mendasar yang masih membelit sistem pendidikan kita, seperti ketimpangan infrastruktur, rendahnya literasi digital, dan minimnya pelatihan untuk guru.
Ketimpangan Digital: Tantangan Tak Kunjung Usai
Rumah Pendidikan digadang-gadang sebagai jembatan untuk menghubungkan guru, siswa, dan orang tua dalam satu ekosistem pendidikan. Namun, bagaimana jembatan ini bisa berfungsi jika akses ke teknologi tidak merata? Di kota-kota besar, platform ini mungkin akan terlihat menjanjikan, tetapi bagaimana dengan daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal)?
Data terbaru menunjukkan bahwa masih ada ribuan sekolah di Indonesia yang belum memiliki akses internet yang stabil. Banyak guru di daerah terpencil bahkan tidak memiliki perangkat yang mendukung untuk mengakses platform digital semacam ini. Tanpa intervensi nyata dalam menyediakan infrastruktur dasar, Rumah Pendidikan hanya akan menjadi simbol digitalisasi yang eksklusif, alih-alih inklusif.
Beban Administrasi untuk Guru
Bagi guru, hadirnya platform baru ini berpotensi menjadi beban tambahan. Sebelumnya, guru telah diperkenalkan dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM), yang butuh waktu tidak singkat untuk dipahami dan diadopsi. Banyak guru baru saja merasa nyaman dengan PMM, tetapi kini mereka dihadapkan lagi pada kebutuhan untuk mempelajari Rumah Pendidikan.
Alih-alih memberikan dukungan yang signifikan, tumpang tindih antara PMM dan Rumah Pendidikan dapat menciptakan kebingungan baru. Guru yang seharusnya fokus pada peningkatan kompetensi dan pengajaran di kelas, kini harus membagi waktu untuk memahami cara kerja platform baru. Jika tidak ada panduan yang jelas dan pendampingan intensif, Rumah Pendidikan hanya akan menambah beban administratif yang tidak produktif.
Retorika Inklusi yang Belum Konkret
Salah satu narasi utama yang dibawa oleh Rumah Pendidikan adalah inklusi pendidikan. Namun, jika diperiksa lebih dalam, ada tantangan besar dalam mewujudkan hal ini. Platform ini mungkin memiliki fitur-fitur canggih untuk mendukung proses pembelajaran, tetapi inklusi sejati memerlukan lebih dari sekadar teknologi. Dibutuhkan pendekatan holistik yang juga mencakup pembenahan kurikulum, penguatan kapasitas guru, dan keterlibatan komunitas.
Inklusi bukan hanya tentang akses ke platform digital, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap siswa, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, sosial, atau geografis, mendapatkan pengalaman belajar yang setara. Sayangnya, fitur inklusi seperti ini belum menjadi prioritas utama dalam desain Rumah Pendidikan.