Mohon tunggu...
Tundung Memolo
Tundung Memolo Mohon Tunggu... Penulis - Tentor dan Penulis Buku, dll

Mendapat kesempatan mengikuti diklat dan lomba hingga ke luar kota dan luar negeri dari kementerian sehingga bisa merasakan puluhan hotel bintang 3 hingga 5. Pernah mendapat penghargaan Kepsek Inspiratif Tingkat Nasional Tahun 2023.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengkritisi Rumah Pendidikan, tapi Jangan Fomo Syndrome

22 Januari 2025   20:50 Diperbarui: 22 Januari 2025   20:15 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Rumah Pendidikan, platform baru yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, hadir dengan ambisi besar untuk menjadi solusi utama dalam memperbaiki akses, kualitas, dan kolaborasi di dunia pendidikan. Namun, ketika dihadapkan dengan kenyataan di lapangan, platform ini mengundang pertanyaan kritis: apakah benar Rumah Pendidikan mampu menjawab tantangan fundamental pendidikan Indonesia, atau justru menambah kompleksitas tanpa dampak nyata?

Digitalisasi pendidikan memang menjadi arah yang tidak bisa dihindari di era teknologi ini. Namun, pendekatan seperti Rumah Pendidikan harus dilihat dengan lebih hati-hati. Ada banyak narasi besar yang dibangun seputar platform ini, mulai dari janji inklusi hingga peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh. Tetapi, ironisnya, narasi ini sering kali mengabaikan masalah mendasar yang masih membelit sistem pendidikan kita, seperti ketimpangan infrastruktur, rendahnya literasi digital, dan minimnya pelatihan untuk guru.

Ketimpangan Digital: Tantangan Tak Kunjung Usai

Rumah Pendidikan digadang-gadang sebagai jembatan untuk menghubungkan guru, siswa, dan orang tua dalam satu ekosistem pendidikan. Namun, bagaimana jembatan ini bisa berfungsi jika akses ke teknologi tidak merata? Di kota-kota besar, platform ini mungkin akan terlihat menjanjikan, tetapi bagaimana dengan daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal)?

Data terbaru menunjukkan bahwa masih ada ribuan sekolah di Indonesia yang belum memiliki akses internet yang stabil. Banyak guru di daerah terpencil bahkan tidak memiliki perangkat yang mendukung untuk mengakses platform digital semacam ini. Tanpa intervensi nyata dalam menyediakan infrastruktur dasar, Rumah Pendidikan hanya akan menjadi simbol digitalisasi yang eksklusif, alih-alih inklusif.

Beban Administrasi untuk Guru

Bagi guru, hadirnya platform baru ini berpotensi menjadi beban tambahan. Sebelumnya, guru telah diperkenalkan dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM), yang butuh waktu tidak singkat untuk dipahami dan diadopsi. Banyak guru baru saja merasa nyaman dengan PMM, tetapi kini mereka dihadapkan lagi pada kebutuhan untuk mempelajari Rumah Pendidikan.

Alih-alih memberikan dukungan yang signifikan, tumpang tindih antara PMM dan Rumah Pendidikan dapat menciptakan kebingungan baru. Guru yang seharusnya fokus pada peningkatan kompetensi dan pengajaran di kelas, kini harus membagi waktu untuk memahami cara kerja platform baru. Jika tidak ada panduan yang jelas dan pendampingan intensif, Rumah Pendidikan hanya akan menambah beban administratif yang tidak produktif.

Retorika Inklusi yang Belum Konkret

Salah satu narasi utama yang dibawa oleh Rumah Pendidikan adalah inklusi pendidikan. Namun, jika diperiksa lebih dalam, ada tantangan besar dalam mewujudkan hal ini. Platform ini mungkin memiliki fitur-fitur canggih untuk mendukung proses pembelajaran, tetapi inklusi sejati memerlukan lebih dari sekadar teknologi. Dibutuhkan pendekatan holistik yang juga mencakup pembenahan kurikulum, penguatan kapasitas guru, dan keterlibatan komunitas.

Inklusi bukan hanya tentang akses ke platform digital, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap siswa, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, sosial, atau geografis, mendapatkan pengalaman belajar yang setara. Sayangnya, fitur inklusi seperti ini belum menjadi prioritas utama dalam desain Rumah Pendidikan.

Paradoks Inovasi Tanpa Keberlanjutan

Indonesia telah melihat banyak inovasi pendidikan digital yang datang dan pergi. Setiap kali platform baru diluncurkan, muncul harapan besar yang kemudian meredup karena kurangnya keberlanjutan. PMM adalah salah satu contoh di mana banyak guru merasa kecewa karena beberapa fitur yang tidak relevan atau kurang optimal dalam mendukung kebutuhan pembelajaran.

Kini, dengan kehadiran Rumah Pendidikan, kekhawatiran yang sama kembali mencuat. Tanpa perencanaan yang matang dan evaluasi berkelanjutan, platform ini berisiko menjadi inovasi lain yang hanya berumur pendek, tanpa dampak jangka panjang yang signifikan.

Solusi atau Beban Baru?

Kritik terhadap Rumah Pendidikan bukan berarti menolak inovasi digital. Justru, kritik ini perlu dipandang sebagai refleksi mendalam agar platform ini benar-benar relevan dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia. Untuk menjawab tantangan ini, Rumah Pendidikan harus fokus pada tiga hal utama:

  1. Pemerataan Akses dan Infrastruktur: Pemerintah perlu menjadikan akses internet dan perangkat sebagai prioritas di daerah-daerah terpencil sebelum memaksakan adopsi platform digital.
  2. Kolaborasi dengan Platform Sebelumnya: Alih-alih menciptakan platform baru yang berdiri sendiri, Rumah Pendidikan sebaiknya dirancang untuk melengkapi dan memperkuat platform yang sudah ada, seperti PMM.
  3. Pendampingan Intensif: Guru tidak bisa dibiarkan belajar sendiri. Pelatihan yang menyeluruh dan berkelanjutan harus menjadi bagian integral dari implementasi Rumah Pendidikan.

Pada akhirnya, Rumah Pendidikan adalah peluang besar untuk memperbaiki sistem pendidikan kita, tetapi peluang ini hanya bisa terwujud jika platform ini dirancang dan diimplementasikan dengan realitas di lapangan sebagai prioritas utama. Tanpa itu, Rumah Pendidikan berisiko menjadi sekadar simbol teknologi yang indah di permukaan, tetapi hampa di dalamnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun