Mohon tunggu...
Tumpal George Tito
Tumpal George Tito Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

an undergraduate student at Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mahar Politik yang Tinggi sebagai Bentuk Disfungsional Partai Politik di Indonesia

27 April 2023   11:42 Diperbarui: 27 April 2023   11:48 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Henry B. Mayo menyatakan "Sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijakan publik ditentukan atas dasar mayoritas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berka;a yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan publik" dalam bukunya yang berjudul Introduction to Democratic Theory. Berdasarkan pernyataan tersebut, wakil-wakil rakyat yang mewakili setiap aspirasi rakyat dipilih melalui pemilihan umum, Akan tetapi, sebelum itu setiap wakil rakyat yang ingin berkompetisi pada arena kontestasi politik haruslah bergabung kepada suatu organisasi yang bernama partai politik. Kehadiran partai politik menjadi suatu pilar bagi negara demokrasi. Melalui partai politik,  proses demokratisasi dapat berlangsung dan setiap aspirasi masyarakat disampaikan kepada partai politik untuk nantinya dapat diteruskan kepada pemerintah agar bisa didengar dan terealisasikan.

Partai politik dalam suatu sistem demokrasi memiliki posisi serta peranan penting dan strategis. Partai berperan sebagai penghubung dalam setiap proses pemerintahan dengan warga negara yang ada di dalamnya. Tidak hanya demikian, kehadiran partai politik di Indonesia turut menjadi bukti bahwa negara ini merupakan negara yang berdemokrasi. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang dirasa penting untuk dapat diperkuat dalam pelembagaannya dalam sistem politik yang demokratis di Indonesia. Di sisi lain, tidak jarang pula kita temui pandangan skeptis terhadap partai politik yang pada kenyataannya tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, melainkan hanya dijadikan suatu kendaraan politik bagi pihak atau elit yang memiliki power untuk memenuhi hasratnya demi memperoleh kekuasaannya pribadi yang nantinya mereka dapat melakukan politisasi birokrasi terhadap pembentukan kebijakan publik yang hanya menguntungan segelintir pihak saja, bahkan termasuk partai asalnya.

Dalam penerapannya, sistem multipartai yang dianut oleh Indonesia justru seringkali berpengaruh pada ketidakstabilan politik yang mungkin saja berimbas pada infiensi kinerja para birokrat di pemerintahan. Tak jarang kita temui dugaan bahwa koalisi partai politik, khususnya pada masa pemilihan umum, dilakukan hanya untuk memdapatkan kursi kekuasaan dan bukan karena adanya kesamaan visi dan misi masing-masing partai tersebut. Kemudian, kekuatan sistem presidensial di Indonesia menjadi fluktuatif yang mana hal ini bergantung terhadap dukungan koalisi partai politik. Bagi pihak koalisi, penting untuk mereka mendukung penuh presiden terpilih untuk mendapatkan kursi yang lebih banyak dari kader-kader mereka. Akan tetapi, bagi partai politik oposisi mereka cenderung sedikit mendapatkan kursi kabinet karena bukanlah bagian dari partai koalisi yang calonnya terpilih. Oleh karena itu, perilaku 'lelang-melelang' terhadap presiden atau calon terpilih seperti halnya demikian bukanlah suatu hal yang baru dalam koalisi partai politik dalam pemilihan umum.

Dalam proses pemilihan kader atau pengusungan kandidat yang akan berkompetisi pada arena politik, tidak jarang kita temui adanya hal yang disebut sebagai mahar politik. Mahar politik atau ongkos politik sendiri merupakan suatu praktik di mana seorang kandidat seolah diminta mahar atau ongkos oleh partai politik agar dapat diberikan dukungan politik kepada kandidat tersebut selama proses pemilihan. 

Fenomena mahar politik ini sendiri tak jarang kita temui di negara-negara berkembang yang mana hal ini cenderung mengakibatkan meningkatnya praktik atau tindak korupsi yang dilakukan oleh calon pemimpin saat mereka terpilih dalam pemilihan umum tersebut. Partai politik sebagai suatu organisasi yang mewadahi para calon pemimpin seringkali bukannya membantu dan mendukung penuh secara sukarela terhadap kader yang berkompeten, melainkan tak jarang meminta mahar tersebut yang cenderung nominalnya besar dan melebihi dari biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk melakukan kampanye dan melampaui batas sumbangan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.

Mengutip pernyataan Wahyudi Kumorotomo (2009), Fitriyah menyatakan bahwa ada beragam cara untuk melakukan politik uang dalam Pilkada langsung. Salah satunya yaitu berupa sumbangan dari para bakal calon atau kandidat yang akan diusung kepada partai politik yang telah mendukungnya. 

Sumbangan tersebut dapat juga dikatakan sebagai suatu "sumbangan wajib" atau ongkos politik yang bilamana telah disyaratkan oleh partai politik bersangkutan kepada para kader partainya atau bakal calon yang akan diusung dan yang ingin mencalonkan diri dalam arena politik, baik sebagai calon gubernur, bupati, maupun walikota. Mahar politik yang begitu tinggi yang dituntut oleh partai politik kepada calon pemimpin yang akan maju di pilkada akan mengakibatkan kepada munculnya sikap korupsi politik yang cenderung mereka lakukan pada saat mereka terpilih dalam pilkada tersebut. 

Korupsi politik tersebut tak jarang dilakukan agar mereka dapat mengembalikan modal atas mahar politik yang telah mereka berikan kepada partai asalnya pada saat proses pemilihan. Cara korupsi politik pun dapat berbagai macam bentuk seperti menjual perizinan, di mana dalam hal ini contohnya jika ada pabrik yang ingin membangun di wilayah kepemimpinan mereka maka akan lebih mudah dengan memberikan uang perizinan yang tinggi pula ataupum berbagai bentuk perizinan lainnya di wilayah kekuasaan mereka. Kemudian, dapat pula berbentuk korupsi atas pembangunan infrastruktur. Selain itu, yang cukup familiar adalah korupsi politik dalam bentuk pelelangan jabatan di lingkup pemerintahan atau jual beli posisi dalam birokrasi pemerintahan.

Isu nyata atas mahar politik ini salah satunya dapat kita temui pada saat pilkada Jawa Timur tahun 2018 lalu, di mana kader partai Gerindra, yakni La Nyalla Mattalitti, mengaku bahwa ia telah dimintai uang sebesar Rp40 Miliar oleh Prabowo Subianto selaku Ketua Umum Partai Gerindra. La Nyalla mengatakan uang tersebut diduga sebagai mahar politik yang terkait dengan pencalonan dirinya sebagai calon Gubernur Jawa Timur dalam pemilihan kepala daerah serentak pada bulan Juni 2018 lalu. Beliau turut mengatakan bahwa uang itu harus diserahkan kepada partai asalnya, yakni Partai Gerindra, sebelum tanggal 20 Desember 2017 lalu agar ia bisa mendapat surat rekomendasi sebagai bakal cagub Jawa Timur. Pada saat itu, La Nyalla kemudian melakukan perhitungan atas keseluruhan dana yang akan digunakan untuk membiayai saksi pada pemilihan gubernur Jatim yang nominalnya tidak sedikit.

Terdapat 68 ribu jumlah TPS keseluruhan se-Jawa Timur di mana ada dua orang saksi per-TPS yang masing-masing akan diberi honor sebesar Rp200.000 sehingga biaya yang akan dikeluarkan totalnya senilai Rp400.000 per-TPS. Apabila ditotal secara keseluruhan dari total 68ribu TPS kemudian dikalikan dengan nominal Rp400.000 maka total biaya yang akan dikeluarkan seharusnya menjadi Rp28 Miliar. Besaran total keseluruhan yang seharusnya dikeluarkan nyatanya jauh berbeda dengan jumlah yang diminta oleh Partai Gerindra kepada La Nyalla Mattalitti, selaku kader dari Gerindra saat itu, yakni sebesar Rp40 Miliar. Kemudian, selisih Rp12 Miliar terebutlah yang menjadi pertanyaan akan kemana larinya dan digunakan untuk apa, apakah untung kepentingan pemilihan La Nyalla ataukah untuk kepentingan pihak-pihak tertentu saja.

Mahar politik yang tidak jarang terdengar di telinga masyarakat pada kenyataannya telah diatur pada Undang-Undang No.10 tahun 2016. Di sisi lain, partai politik memiliki sudut pandang dan permintaannya sendiri yang mana mereka menginginkan dana partai seharusnya turut diatur dalam undang-undang dan dibiayai oleh apbn untuk dana kampanye dan dana-dana untuk kepentingan bersama lainnya sehingga tidak mengakibatkan tingginya mahar partai yg diberikan kepada calon pemimpin. Dalam fenomena mahar politik ini, sejatinya diperlukan berbagai pengawasan oleh beberapa pihak dan bukan hanya menjadi tanggung jawab atau 'pr' bagi partai politik saja. Partai haruslah memiliki kandidat yang berkualitas, berintegritas, serta memiliki nilai jual politik yang tinggi bukan materi yang berlebih sehingga dengan popularitas politik tersebut dapat menekan biaya kampanye yang murah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun