Mohon tunggu...
Tumpal Beckham
Tumpal Beckham Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa, manusia biasa

Mahasiswa yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Krisis Pangan Masa Covid-19, di Mana Sebenarnya Keberpihakan Pemerintah?

10 Juli 2020   12:20 Diperbarui: 10 Juli 2020   12:12 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini muncul berita di media-media massa Presiden Jokowi meminta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) segera mencetak sawah dalam langkah preventif krisis pangan di Indonesia, hal ini seturut dengan peringatan dari Food and Agriculture Organization (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Data yang didapat dari tirto.id menyebutkan bahwa 300 ribu hektar lahan sudah siap, dan juga yang dikuasai BUMN sekitar 200 ribu hektar. Namun, apakah langkah preventif ini dapat mengatasi krisis pangan di masa pandemi ini? Lalu, dimana sebenarnya keberpihakan Pemerintah setelah begitu banyak lahan sawah subur yang digusur Pemerintah?

Miris rasanya jika Indonesia dengan sebutan negara agraris masih saja mengimpor pangan dari luar negeri, tapi disisi lain Pemerintah sibuk membangun infrastruktur dengan embel-embel internasional. Pada masa pandemi ini, dihimpun dari chanel YouTube CNBC Indonesia, Indonesia mulai mengalami defisit bahan pangan, seperti stok beras defisit di 7 provinsi, stok jagung defisit di 11 provinsi, stok cabe besar defisit di 23 provinsi, stok cabe rawit defisit di 19 provinsi, stok bawang bawang merah defisit di 1 provinsi, dan stok bawang putih defisit di 31 provinsi. Artinya, dapat disimpulkan bahwa kelangkaan bahan pangan mulai terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Bukannya memperhatikan kedaulatan petani secara bertahap, pemerintah justru seringkali malah menggusur lahan-lahan pertanian milik rakyat untuk kebutuhan infrastruktur dan industri. Setiap tahun Indonesia kehilangan 200 ribu hektar lahan pertanian. Seperti contohnya Bandara Internasional Yogyakarta Kulon Progo, 27 Januari 2017. Proyek Bandara Kertajati Jawa Barat, dan juga di Majalengka tahun 2016. Lahan-lahan subur milik rakyat menjadi korban nafsu pemerintah untuk membangun infrastruktur dan industri.

Masyarakat yang tergusur kemudian diiming-imingi mendapat pekerjaan yang lebih baik sebagai buruh pabrik dengan gaji yang besar. Dalam proses penggusurannya, masyarakat sering menerimak tindak kriminalisasi oleh aparat dan juga pihak pengembang. Di Samarinda, Kalimantan Timur, lahan pertanian yang tadinya tumbuh subur, ketika dibangun proyek batubara menjadi lahan persawahan yang penuh lumpur.

Menurut data yang dihimpun channel YouTube WatchDoc, proyek tambang batubara menjadi ancaman ketahanan pangan di Indonesia. Dari 34 Provinsi, 23 Provinsi dikuasai konsesi tambang batubara. 23% dari 18 juta hektar lahan layak tanam terancam konsesi batubara, 19% dari 44 juta hektare lahan pertanian dikapling konsesi batubara, 1,7 juta ton/tahun beras hilang akibat tambang batubara. Bahkan luas lahan sawit berbanding terbalik dengan lahan baku, sawit memiliki lahan 16 juta hektar, sedangkan lahan baku sawa hanya 7,4 juta hektar.

Lalu, media massa saat ini terlalu banyak memberitakan tentang Covid-19, hingga masyarakat lupa, bahwa disisi lain kehidupan masih banyak orang yang berjuang demi lahannya. Masih menurut data yang dihimpun dari Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), ada beberapa konflik agraria yang terjadi saat wabah Covid-19, yakni;

1. Pada 18 Maret 2020, PTPN XIV mengeluarkan surat edaran meminta petani di Kampung Likudengan, Desa Uraso, Kecamatan Mappadeceng, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan meninggalkan tanah pertanian dan kampung mereka. Pihak PTPN mengklaim tanah tersebut masuk ke dalam HGU mereka. Sebagai catatan, lokasi ini sudah diusulkan kepada pemerintah melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) untuk segera diselesaikan dan diredistribusi kepada petani. Tanah yang diklaim pihak PTPN tersebut dulunya merupakan tanah warga desa yang diambil secara paksa. Setelah itu, mereka menelantarkan hingga kembali diduduki dan ditanami warga sampai sekarang.

2. Pada 21 Maret 2020, PT AP dibantu aparat keamanan diduga menggusur warga Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Atas kejadian tersebut, dua orang petani, Suyadi, 40 tahun, dan Putra Bakti, 35 tahun, meninggal akibat serangan pihak perusahaan. Dua warga lainnya kritis akibat luka bacokan.

3. Pada 27 Maret 2020, aparat kepolisian membubarkan kemah warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pasanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kemah tersebut didirikan oleh warga sebagai bentuk penolakan terhadap aktivitas penambangan di Gungung Pitu dan Salakan oleh PT DS karena merusak lingkungan. Kemah tersebut ditutup paksa oleh aparat dalih penyebaran Covid-19, namun akivitas perusahaan masih terus berlangsung.

4. Pada 2 April 2020, tanah pertanian warga Desa Sedang, Kecamatan Suak, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan diduga digusur oleh PT MA dibantu oleh aparat kepolisian. Pihak perusahaan merobohkan pondok-pondok para petani. Sementara padi para petani yang baru panen dibuang oleh perusahaan.

5. Pada 10 April 2020, PT WK ditengarai meracuni tamanan pertanian warga Muaro Kilis dan Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi, dengan menggunakan drone. Tindakan ini terkait konflik agraria/sengketa lahan antara perusahaan dan warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun