Mohon tunggu...
Cut Tya Syhr
Cut Tya Syhr Mohon Tunggu... -

21th years, every second my imagination grow up and I got some letters here.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Titik Nol Aku Menjadi Seorang "Aceh"

28 Maret 2011   16:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:21 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah pasti dari namaku, aku ini adalah seorang wanita. Sudah berumur 21tahun. Tidak cukup tua bukan untuk menulis diary atau blog seperti ini? Panggil saja aku, Cut Tya. Maka aku berada dalam pikiranmu, hatimu, jiwamu, kecuali dompetmu. Sampai saat ini aku masih tercatat sebagai salah satu mahasiswa fakultas ekonomi Univ. Syiah Kuala jurusan ekonomi pembangunan angkatan 2007. Artinya, saat ini aku adalah mahasiswa tingkat akhir. *yawn* Nama saya Cut Tya. Yang berarti aku adalah keturunan Aceh. Kalau dalam Harry Potter istilahnya adalah pure blood (pemberitahuan : aku adalah fans dan korban buku serta film Harry Potter). Ayahku seorang cucu kerajaan di Blam Pidie dan ibuku adalah anak seorang kepala di Meulaboh.Ayahku dulunya juga kuliah di fakultas ekonomi, namun saat semester akhir beliau mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan, hingga penantiannya jadi seorang sarjana pupus ditengah jalan. Hingga beliau menitipkan amanah kepadaku untuk meneruskan cita-citanya yang tertunda. Ibuku pernah jadi seorang guru, hingga akhir hayatnyapun dia benar-benar guru dalam hidupku yang mana ketika aku merasa ingin tau mengapa saat siang aku harus tidur siang, sorenya mengaji,malemnya mengaji lagi dan terkadang les private. Ibuku bilang, kelak kau akan bangga dan tidak menyesal hanya karna siang hingga malammu hanya mengaji dan belajar. Ya, aku memang sangat bangga akan masa-masa itu.  Ayahku dulunya memiliki Teuku dalam namanya, namun sekian lama hijrah ke Medan, beliau menanggalkan nama itu dan menggantikannya dengan Muhammad. Semata-mata demi keamanan yang pada waktu itu orang Aceh yang berada di luar Aceh sangat rentan dicurigai sebagai salah satu anggotan GAM. Semasa kecil, sudah 2 kali rumahku di jaga ketat oleh beberapa oknum aparat dan intel. Aku hanya berdua dengan ibuku dan kami harus tiarap. Benar-benar masa-masa yang bengis. Meninggalkan Aceh sekian lama, ayah dan ibuku sempat berpindah-pindah karna saat itu ayah sering dipindahtugaskan. Hingga lahirlah abangku bernama Eko Bastiansyah,Silvia Syahputri, Rizki Adriansyah dan mereka sama sekali tidak memiliki indetitas seorang Aceh seperti yang terselip di namaku. Dan aku? Ha-ha-ha. Aku adalah anak terakhir yang paling bontot di antara sisa-sisa benih. Salah satu kebanggan adalah aku merupakan benih yang unggul yang mampu menembus endometrium ibuku, tepuk tangan. Seiring berjalan waktu, diantara abang dan kakakku, hanya namaku yang terselip penghargaan dan amanah cut dari nenekku Cut Aisyah. Beliau begitu berang karena cucunya satupun tidak memiliki identitas darah biru. Padahal seluruh sepupuku tidak ada yang tidak memakai gelar bangsawan tersebut. Abang dan kakakku sendiri menolak manis memakai gelar tersebut. Hingga pada akhirnya saat aku kelas 2 SD, gelar tersebut ditanamkan dalam namaku. Semula namaku adalah Meutia Putri Syahara dan berganti menjadi Cut Meutia Syahara. Ayahku bilang, namaku seperti nama pahlawan dan semoga suatu saat bisa jadi pahlawan bagi sekelompok atau banyak orang. (Ya, memang terkadang saat tengah malam aku menemukan sosokku seperti wonderwoman memakai boots hitam, wardrobe bermotif macan, dan menaiki sepeda ontel untuk melirik dan mengantisipasi keadaan sekeliling, mungkin inikah pahlawan yang dimaksudkan ayah? Entahlah, aku yang masih menghayalinya saja rasanya mau muntah dua galon). Beranjak dewasa, lidahku benar-benar kelu dan kaku soal bahasa Aceh. Merasa menyesal tidak belajar saat ayah dan ibuku sering bercakap Aceh dirumah. Menyesal karna pernah menganggapnya bahasa alien. Karna pernah suatu hari, saat aku menjadi salah satu tim paskibra di sekolah dasar, pagi-pagi buta aku sudah rapi dengan baju putih dan rok putih, rambutku yang bob disisir kebelakang seperti James Bond. Abangku Oki, tertawa terpingkal-pingkal melihatku pagi itu. Dengan tingkat kegeeran yang melampaui batas, dengan pedenya aku pergi sekolah yang sebelumnya dicium ibuku. Bekas lipstiknya menempel jelas di pipiku, dan oh gosh aku adalah tim pembawa bendera. Dan anehnya lagi, tak satupun temanku memberitahu hal itu, mereka sengaja membiarkan noda dipipiku ini seakan prangko yang siap mengirimkanku ke dunia penuh ubur-ubur yang menertawaiku. Sehabis paskibra, sehabis banyak tumpah tawa yang mencoreng mukaku terlebih  memang sudah tercoreng, aku pulang dengan perasaan kesal. Ketika sampai dirumah, awalnya mau marah jadinya dibatalkan mendadak melihak ada ayam goreng nyami nyami di atas tudung. Ayah dan ibuku berbicara bahasa Aceh, dan rasanya aku membayangkan mereka seperti di film Star Wars. Oh my mind! Hingga pada masa memasuki bangku kuliah, di bawah payung fakutlas ekonomi syiah kuala, aku bertemu banyak orang, banyak teman yang sebelumnya tak pernah kuduga akan bertemu orang-orang ini disini. Sudah pastinya, identitas nama dan tempat tinggalku sering dijadikan rubriks pembicaraan saat berada dalam suatu forum. Pertanyaannya masih itu-itu juga hingga sudah tahun ketiga aku berada di Aceh, “mengapa seorang yang memiliki inisial Cut tidak bisa fasih berbahasa Aceh seperti Cut lainnya”. Aku hanya menjawab, jika diberi pilihan aku memilih lahir di Aceh meski ada atau tidaknya Cut tersebut dalam namaku. Menurutku identitas Aceh yang sebenarnya bukan hanya terletak pada nama, melainkan budaya dan kebiasaan dan aku tak memiliki itu. Benar-benar si buta dari gua hantu, benar-benar buntu. Terkadang miris, serasa seperti minoritas tinggal disini. Terlebih aku yang belum terbiasa dan sulit menyesuaikan diri dengan peraturan syariat yang ada di Aceh. Namun tidak dengan mengurangi rasa minoritas itu sendiri, aku merasa bangga atas identitas “cut” ini, bukan karena menandakan aku seorang darah biru, aku merasa bangga menjadi salah satu titisan murni di bumi Aceh yang sebelumnya kuketahui adalah daerah istimewa baik sejarahnya, pertahanan daerahnya, potensi sumber daya alamnya yang kaya, aku bisa memandangi gunung seraya memercikan air pantai dengan kakiku, dan Aceh terkenal daerah dengan mentalitas individualisme yang tinggi. Jika dilirik beberapa tahun aku berada di Aceh, cita rasa kehidupan disini benar-benar menantang dan menguji mental serta syahwat berpikir. Dulunya aku terbiasa dengan “hang-oucchh” atau ngemall atau ngegaol di tempat-tempat hiburan di Medan, namun berbeda saat di Aceh, aku merasa hidup dalam naturalisme, datang dari alam dan kembali kepada alam. Begitu bebas memeluk ruang udara yang masih jernih untuk merasuki bronkulusku. Saat ini, statusku adalah anak kosan. Tinggal seorang diri dalam kamar yang luasnya 4×4 di lantai dua salah satu ruko mini di Prada Banda Aceh. Aku selalu menganggap kamar ini adalah pesawat pribadiku. Aku menungganginya dan menelusuri banyak angan, tawa, hingga pilu yang bertumpah kesah di bantal-bantala dan selimut jerapahku. Kini malam, sepi dan hujan, aku belum berencana untuk take off ke suatu tempat bernama pulau kapuk. Entahlah, aku hanya ingin terus disini, berada didepan laptopku. Menggalaunisasi dengan segenap bab demi bab yang harus kubaca. Aceh, aku mengerumuni banyak kisah tentang Aceh. Sejarahnya saja sudah begitu kaya, konon lagi warisannya yang kini begitu ruah yang selama ini dinikmati tangan-tangan kapitalis. Begitu banyak paradigma yang tidak terbiasa ada dikepalaku kutemukan disini. Aceh dan sejuta cerita pilunya, Aceh dan sejuta cinta sendunya. Aku mencintai negeri rencong ini, meski saat ini budaya dan kebiasaannya begitu miskin ada dalam hari-hariku. Tapi aku percaya, untuk menjadi seorang yang benar-benar "aceh" bukan hanya menanggung identitas darah biru atau tidak, bisa berbahasa Aceh atau tidak, namun aku lebih menitikberatkan seberapa cinta dan pengabdian terhadap Aceh sendiri. Karna apa? Karna realita dan fakta membuktikan begitu banyak yang tidak membanggakan kekentalan Acehnya sendiri. Aku tak mampu berargumen panjang dan tidak menuntut banyak orang menilai aku pantas menjadi seorang "Aceh" atau tidak :)) Teringat sekali ayahku pernah bercerita, saat masa-masa ia dipanggil dengan sebutan Amponcut. Begitu banyak pemerasan secara paksa, ancaman yang silih berganti, hingga akhirnya hijrah ke luar kota adalah jalan yang paling terakhir demi merajut kembali masa depan yang lebih cerah dari pada tetap tinggal di Aceh saat konflik. Dunia memang sesungguhnya kejam. Salam kenal dariku, dari seorang perempuan Aceh yang berada di titik nol sebagai darah biru. Salam sejawat

:)
:)
)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun