Bahwa memang benar Museum tersebut berada di lahan timbunan yang sudah ada, seluas 20 ha. Lahan tersebut terbentuk dari hasil buangan sedimentasi sungai-sungai yang ada di Jakarta. Artinya, lokasi Museum tersebut justru berada di atas lahan dari timbunan lumpur yang telah menyelamatkan banyak warga Jakarta dari banjir.
Bayangkan jika saja tidak ada lokasi tersebut, pengerukan lumpur untuk antisipasi banjir yang dilakukan sejak era Fauzi Bowo, Jokowi, BTP, Anies Baswedan kesulitan mendapatkan loksi pembuangannya.
Jika memang ada yang bertanya, kenapa membuang lumpurnya musti ke Ancol? Kenapa tidak ke tempat yang lain? Pertanyaan tersebut terlambat ditanyakan, apalagi kepada Gubernur Anies yang baru menjabat sejak 2017. Praktik pembuangan tersebut sudah berlangsung sejak tahun 2009, kira-kira 8 tahun sebelum Gubernur Anies.
Terhadap pertanyaan tersebut juga bisa diajukan pertanyaan balik, memangnya ada tempat lain yang lebih pas untuk membuang lumpur hasil pengerukan 13 sungai yang volumenya mencapai 3.441.870 meter kubik?
Alih-alih membuang lumpur, mencari lokasi pembuangan sampah saja Jakarta mengalami kesulitan. Terpaksa harus membuang ke daerah lain di Bantar gebang, Bekasi. Jadi, apa salahnya jika lumpur-lumpur buangan tersebut ditumpuk menjadi lahan baru yang pemanfaatnnya diperuntukan bagi kemaslahatan publik.
Salah seorang pengamat juga mempertanyakan, jika timbunannya dikasih ke Ancol, kenapa Ancol-nya tidak dijadikan wisata publik terbuka? Bukankah Ancol terlalu kemersil? Cek saja tiket masuknya berapa? Masuk Dufan berapa? Masuk Seaworld berapa?
Untuk satu kali masuk Ancol dengan menikmati berbagai lokasi atraksinya, total bisa habis hampir Rp. 500.000,-. Itu belum termasuk tiket masuk ke Museum Rasulullah nantinya.
Ilustrasi data di atas memang seakan-akan sangat komersil bukan? Padahal hitung-hitungannya bukan begitu. Untuk masuk ke semua wahana di Ancol mungkin bisa menghabiskan Rp. 500.000.
Sama dengan kalau kita masuk pasar dan beli semua barang-barang yang ada di pasar, pasti akan habis uang banyak bukan? Tetapi kalau hanya masuk dan beli barang tertentu, habis uangnya paling hanya untuk bayar parkir dan harga barang tertentu tersebut. Begitu juga ke Ancol, masyarakat umum hanya perlu membayar tiket masuk Rp. 25.000,- per orang untuk durasi jam semaunya.
Belum lagi, di era Gubernur Anies ini banyak program-program tiket gratis masuk untuk pemegang kartu-kartu tertentu, pengurus RT/RW, pekerja sosial dan sebagainya. Jadi praktis, pengunjung Museum hanya akan membayar tiket masuk Museumnya saja. Jauh dari apa yang dituduhkan sebagai komersialisasi.
Sebagai warga biasa, dengan keluarnya Kepgub, saya hanya berharap Pemprov DKI Jakarta dan Ancol konsisten menjalankan kajian-kajian yang transparan dalam pembangunan Ancol. Sejarah Ancol adalah terbentuk dari timbunan-timbunan. Kelanjutan perluasan lahan dengan timbunan-timbunan tersebut justru tergantung kajian lingkungan yang dilakukan berdasarkan perintah Kepgub no. 237/2020 tersebut.