"Apa kabar bos? Duduk dulu, duduk, silakan ngopi dulu bos. Bos sudah sukses ternyata yah, kudengar informasinya bos buka koran?" tanya temannya --empat orang-- yang sudah duduk duluan di salah satu Warung Kopi di Jl Setia Budi (Kawasan Ring Road), Medan, Sumatera Utara.
"Ya, aku rencana mau membeli mesin cetak, harganya sekitar Rp 900 Jutaan. Namun, uangnya kurang sekitar Rp 200 jutaan lagi. Wartawan aku juga totalnya sudah 400 orang lebih sampai ke daerah-daerah. Inilah mau menambah lagi." ujar seorang bapak yang barusan turun dari mobil Fortunernya.
..................."Kalau aku sudah punya kartu pers tiga. Ini empat temanku butuh kartu pers juga katanya," ucap salah satu temannya.
Oo..yah, boleh, boleh! Kalau temanmu kukasih pun Rp 200 ribu per kartu. Jadi empat orang Rp 800 ribulah. Kalau sama yang lain aku kasih Rp 400 ribu per kartu. Bagaimana? "Oke bos, amanlah itu," jawab mereka.
"Hari ini atau besok juga sudah bisa siap kok!" ucap si bapak naik mobil si fortuner itu.
Itulah sekelumit pembicaraan yang aku dengarkan ketika sedang menonton pertandingan sepakbola antara Timnas Indonesia U-19 versus Uzbekistan, Jumat, 10 Oktober 2014, kemarin.
Mendengar percakapan itu, pikiranku benar-benar buyar. Permainan yang disuguhkan kedua tim tidak bisa lagi kunikmati dari layar tivi. Bahkan, segelas kopi yang aku pesan ikut tersenggol tanganku dan jatuh ke lantai. "Buarrr!" Suara pecahan gelas yang berserakan di lantai. Akhirnya mereka bubar (mungkin waktunya mereka sudah mau bergerak), dan aku kembali memesan segelas kopi. Hatiku selalu bertanya-tanya, koran apa ya, koran dia itu? Sampai aku bertanya pada yang punya warung kopi tersebut, mereka juga tidak tahu.
Suasana hati yang masih panas dengan tak bisa berbuat apa-apa terhadap mereka itu, aku berpikir begini; "jika 400 wartawannya, berarti koran terbesar di Asia dan bahkan di dunialah koran dia itu yah," gumamku dalam hati. Bahkan mau menambah lagi katanya, dari yang sudah 400 orang itu. Aneh bin ajaib. "Luarrrrrrrrrrrr biasa, ternyata ada perusahaan pers dan perusahaan penjual kartu pers," ujarku dalam hati.
Kalau dihitung-hitung dari total biaya pendapatannya, wajar saja ingin tetap menambah "wartawannya" dia. 400 orang x Rp 400 ribu saja sudah Rp 160 Juta. Wow..! Fantastis.
"Kartu pers diperlakukan seperti Multi Level Marketing (MLM) bah..," gumamku dalam hati.
Sakitnya tuh di sini...(sambil tepok-tepok dada).
Mungkin kejadian seperti ini sudah banyak di daerah-daerah Indonesia. Sangat diharapkan bagaimana peran Perusahaan Pers, Dewan Pers, AJI, PWI, IJTI, dll nya beserta para pemangku jabatan agar hal-hal seperti ini bisa diminimalisir.
Minimal yang memiliki kartu pers tersebut, bisa menulis dan mengerti apa itu etika jurnalistik. Kalau hal-hal seperti ini dibiarkan, maka nama wartawan/jurnalis (keseluruhan) akan buruk citranya di masayarakat, padahal yang melakukan pekerjaan yang tak bisa dibenarkan ini adalah yang mengaku punya perusahaan media dan wartawan-wartawannya yang tak jelas keberadaannya. Akhirnya di masyarakat tercap semua profesi kewartawanan itu mereka anggap mata duitan. Ini harus perhatian bersama. Kalau bisa mendirikan Perusahaan Pers itu dikembalikan seperti pada zaman orde baru ( soal mendirikan wadahnya), tetapi soal peliputannya tetap menganut "kemerdekaan pers". Salam Etika Jurnalistik. Merdeka!