Mohon tunggu...
Tulus Hasudungan Pardosi
Tulus Hasudungan Pardosi Mohon Tunggu... Profesional -

"Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Hanya orang Biasa yang diberikan Tuhan kesempatan dan pengalaman Luar Biasa."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pencucian Uang dan Perbankan di Indonesia

27 Juni 2012   14:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:28 2657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENCUCIAN UANG DAN PERBANKAN DI INDONESIA

Oleh: Tulus H. Pardosi

Menurut Prof. Sutan Remy Sjahdeni pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang yang berasal dari kejahatan (uang haram), dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal (Sjahdeni, 2003).

Walaupun terlambat, namun dengan diundangkannya Undang-undang No.15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 yang kemudian diganti dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2010, menunjukkan peran serta Indonesia dalam melakukan kriminalisasi dan upaya penanggulangan Pencucian Uangyang sudah lama menjadi perhatian dunia internasional (Nawawi Arief, 2010).

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010:

“Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”

Yang dimaksud dengan “segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini” adalah segala perbuatan di dalam Pasal 3 - Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 sebagai berikut:

1.“Menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.” (Pasal 3).

2.“Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.” (Pasal 4).

3.“Menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.” (Pasal 5).

Dari perumusan di atas, unsur-unsur inti Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:

a.Melakukan salah satu dari perbuatan yang berhubungan dengan harta kekayaan hasil tindak pidana dibawah ini yaitu dengan sengaja:

1.Menempatkan harta kekayaan ke Penyedia Jasa Keuangan atas/nama sendiri maupun atas/nama pihak lain;

2.Mentransfer harta kekayaan dari Penyedia Jasa Keuangan atas/nama sendiri maupun pihak lain;

3.Mengalihkan harta kekayaan atas/nama sendiri maupun pihak lain;

4.Membelanjakan atau membayarkan harta kekayaan atas/nama sendiri maupun pihak lain;

5.Menghibahkan harta kekayaan atas/nama sendiri maupun pihak lain;

6.Menitipkan harta kekayaan atas/nama sendiri maupun pihak lain;

7.Membawa ke luar negeri harta kekayaan

8.Mengubah bentuk atau menukarkan dengan mata uang atau surat berharga harta kekayaan

9.Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan.

10.Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan.

b.Mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan itu diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari salah satu diantara kejahatan/tindak pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 2010 (Korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, dan perikanan atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih).

Ada 9 (Sembilan) faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan pencucian uang di berbagai Negara, sebagai berikut (NLRP, 2011):

1.Globalisasi sistem keuangan.

2.Kemajuan di bidang teknologi informasi.

3.Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat.

4.Penggunaan nama samaran atau anonym.

5.Munculnya penggunaan jenis uang baru berupa electronic money (e-money).

6.Praktik pencucian uang secara layering.

7.Berlakunya rahasia hubungan antara lawyer dan akuntan dengan kliennya.

8.Pemerintah suatu negara yang kurang bersungguh-sungguh untuk memberantas pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan.

9.Tidak dikriminalisasinya perbuatan pencucian uang di suatu negara. Dengan kata lain, negara tersebut tidak memiliki undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan pencucian uang merupakan suatu tindak pidana.

Meskipun terdapat berbagai macam modus pencucian uang, namun pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahapan, yaitu:

a.Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan.

b.Layering adalah memisahkan harta kekayaan dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usulnya. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening sebagai hasil placement melalui serangkaian transaksi untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut.

c.Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil dapat dinikmati atau digunakan secara aman (Siahaan, 2008).

Ketiga tahapan di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Mengingat perbuatan pencucian uangbegitu merugikan, maka yang perlu diperhatikan bukan saja modus operandinya, melainkan juga menyangkut hal-hal lain yang menunjang terjadinya pencucian uang.

Anwar Nasution dengan bahasa lain juga mengemukakanbahwa proses pemutihan (pencucian) uang dilakukan melalui tiga tahapan yaitu:

Tahap pertama, disebut ”immersion” atau “membenamkan” uang haram sehingga tidak tampak dari permukaan. Dalam proses ini, uang hasil kejahatan ditempatkan dan dikonsolidasikan dalam bentuk dan tempat yang sulit dilacak oleh sistem pembayaran yang sah. Proses “pembenaman” uang haram dilakukan melalui instrumen keuangan yang mudah dikonversi ke dalam bentuk uang tunai dan tabungan pada sistem perbankan.

Tahap kedua, uang haram dipindah-pindahkan dari satu ke rekening bank ke rekening bank baik di dalam negeri maupun melalui transaksi antar negara. Tujuannya adalah untuk menutup identitas pemilik maupun sumber uang haram itu. Untuk melayani transaksi seperti itu, pemilik uang haram membentuk jaringan internasional yang sangat komplek yang dimiliki sendiri maupun hanya dikontrol olehnya.

Tahap ketiga, proses pemutihan uang haram disebut sebagai proses pengeringan ataupun repatiasi dan integrasi. Pada tahap ini, uang haram yang telah “dicuci” bersih itu dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk yang menurut aturan hukum, telah berubah menjadi legal dan sudah membayar kewajiban pajak (Nasution, 1997).

Dalam praktiknya, kegiatan pencucian uanghampir selalu melibatkan lembaga perbankan. Hal ini disebabkan oleh adanya globalisasi perbankan sehingga melalui sistem pembayaran elektronik (electronic funds transfer), dana hasil kejahatan yang pada umumnya berjumlah besar akan mengalir atau bergerak melampaui batas yuridiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang dijunjung tinggi oleh perbankan.

Bank di Indonesia wajib memantau identitas, transaksi, dan rekening nasabah,kemudian dilaporkan kepada Financial Intelegence Unit atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan(PPATK). Hal ini dapat menciptakan database informasi yang memudahkan penegak hukum dalam melacak terjadinya pencucian uang.

Bank juga diwajibkan melaporkan Suspicious Transaction Report / Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)kepada Bank Indonesia dan PPATK yang selanjutnya dianalsis dan dievaluasi. Jika ditemukan adanya indikasi kejahatan kemudian dilaporkan kepada Kepolisian atau Kejaksaan guna dilakukan investigasi untuk menghentikan meluasnya praktik pencucian uang.

Untuk mengamankan operasional perbankan, Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) mengkategorikan beberapa risiko yang akan dihadapi oleh Bank dan penyedia jasa keuangan lainnya yang terkait dengan penggunaan institusinya untuk keperluan pencucian uang (FATF, 2002). Risiko-risiko tersebut antara lain:

1)Politically Exposed Persons (PEPs)

Menurut the Basle Committee on Banking Supervision, PEPs adalah:

“Orang-orang terkemuka yang dipercaya memegang fungsi publik termasuk pimpinan negara atau pemerintahan, politikus senior, pejabat tinggi, pejabat pengadilan atau militer, pejabat eksekutif dari badan usaha milik negara dan pimpinan partai”.

Pada umumnya hasil kejahatan yang diterima oleh PEPs atau kerabatnya dipindahkan ke negara lain untuk dicuci, disembunyikan dan dilindungi. Hal tersebut dapat terlaksana dengan bantuan pelayanan jasa private banking yang memungkinkan pembukaan rekening atas nama orang/pihak lain berupa individu, usaha komersial, trust, perusahaan intermediasi atau investasi.

Dalam menerima dana yang bersumber dari korupsi, bank harus menyadari implikasi yang mungkin timbul, antara lain rusaknya reputasi lembaga tersebut, tuntutan pengembalian dari pemerintahnya atau individu, tindakan dari otoritas yang berwenang untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau diajukannya tuduhan melakukan pencucian uang.

2)Correspondent banking

Correspondent banking adalah hubungan antara satu bank (correspondent bank) dengan bank lain (respondent bank) dengan membuat multiple correspondent relationships world-wide untuk menjalankan transaksi keuangan internasional mereka dan nasabahnya dalam suatu yurisdiksi dimana mereka tidak mempunyai kantor cabang. Dari sejumlah pedoman yang dikeluarkan oleh beberapa negara, beberapa persyaratan yang diperlukan untuk melawan risiko pencucian uang melalui correspondent banking adalah :

a.Bank harus menolak hubungan korespondensi dengan responden yang tidak berada di suatu yurisdiksi tertentu (shell bank) dan bukan afiliasi dari kelompok keuangan yang terdaftar pada suatu yurisdiksi. Bank juga harus menolak membuka hubungan dengan responden asing yang mengijinkan rekening mereka digunakan oleh shell banks.

b.Bank harus menolak hubungan korespondensi kecuali mempunyai dokumen perjanjian yang menerapkan ketentuan anti pencucian uang.

c.Bank harus menolak hubungan hukum dengan setiap responden kecuali telah melakukan pemeriksaan dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Minimal bank mengetahui data kepemilikan, manajemen, kegiatan usaha utama, keberadaan, dan lokasi bank responden.

3)Electronic and other Non Face-to-Face Financial services

Jasa bank yang bersifat elektronis dan jasa keuangan non face-to-face financial services cukup rawan terhadap kejahatan pencucian uang.

4)Deposits and withdrawals

Pengambilan tunai, penyimpanan dan transfer dana melalui ATM dan electronic of sale terminal yang tidak memerlukan tatap muka antara nasabah dan bank juga sangat efektif untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang.

5)Electronic money / e-money (purses and cards)

E-money adalah sejumlah dana yang telah disimpan dalam medium elektronik dan diterima sebagai pembayaran oleh pihak ketiga. Risiko yang terjadi adalah kemungkinan pengiriman dana dari pihak ketiga yang tidak dikenal dan ditransfernya dana dari satu kartu ke kartu lainnya.

Pencucian uangsangat berkaitan dengan kerahasiaan bank karena kerahasiaan bank yang diterapkan secara ketat oleh sebuah negara tanpa diimbangi dengan perangkat hukum untuk mencegah tindak kriminal, sangat rentan menjadi celah terjadinya pencucian uang. Oleh karena itulah, Prinsip KYC sangat diperlukan oleh bank untuk mengenal karakteristik nasabahnya, mulai dari identitas nasabah, hingga memonitor ke dalam (incoming) dan keluar (outgoing) setiap kegiatan transaksi nasabah.

Tujuan utama penerapan Prinsip KYC di dunia perbankan adalah agar bank dapat mendeteksi secara dini adanya indikasi transaksi yang melanggar hukum dari nasabahnya, sehingga bank dapat dilindungi dari sasaran kejahatan pencucian uang.

Pada tanggal 18 Juni 2001, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/10/PBI/2001 sebagaimana diubah dengan PBI No. 5/21/PBI/2003 yang mengatur tentang Penerapan Prinsip KYCsebagai bagian upaya hukum dalam mencegah digunakannya perbankan nasional sebagai media pencucian uang. Peraturan ini sejalan dengan rekomendasi internasional seperti Komite Basel untuk pengawasan perbankan (The Basel Committee on Banking Supervision) dan FATF (Husein, 2001).

Sesuai Rekomendasi FATF, Prinsip KYCmerupakan sarana yang paling efektif bagi perbankan untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang melalui perbankan. Prinsip KYCyang kurang sempurna dapat mengakibatkan bank-bank harus berhadapan dengan risiko-risiko perbankan sebagai berikut:


  • Risiko reputasi: berhubungan dengan hal-hal yang berpotensi mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap suatu bank dan dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas bank yang bersangkutan.
  • Risiko operasional: merupakan risiko kerugian yang secara langsung atau tidak langsung bersumber dari internal atau eksternal bank. Risiko ini berhubungan dengan penerapan sistem perbankan, pengawasan internal, dan due diligence yang kurang memadai.
  • Risiko hukum: berkaitan dengan kemungkinan bank menjadi target pengenaan sanksi karena tidak mematuhi standar KYC dan gagal melaksanakan due diligence yang diperlukan terhadap nasabah. Dalam hal ini bank dapat dikenakan denda atau sanksi lainnya oleh otoritas pengawas bank atau bahkan dikenakan pertanggungjawaban pidana oleh pihak yang berwajib.
  • Risiko konsentrasi: terkait dengan sisi aktiva dan pasiva bank. Dalam Praktik pengawasan, pengawas bank tidak hanya berkepentingan untuk mengidentifikasi konsetrasi kredit yang dijalankan oleh bank, tetapi juga penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank dalam menyalurkan kredit terhadap seorang atau group kreditur.

Tanpa mengenal identitas nasabah secara pasti dan memahami hubungan antara nasabah yang satu dan nasabah-nasabah lainnya, sulit bagi bank untuk mengatasi risiko konsentrasi dimaksud. Untuk ini bank perlu melakukan analisis terhadap adanya konsentrasi simpanan, memahami karakteristik simpanan termasuk identitas deposan dan hal-hal apa saja yang dapat menghubungkan deposan dengan simpanan deposan lainnya.

Untuk berperan dalam penanggulangan Pencucian Uang, Bank diwajibkan untuk melaksanakan Prinsip KYC secara efektif dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:


  1. Menunjuk seorang pejabat senior yang bertanggung jawab atas kebijakan dan prosedur KYCdi bank sesuai dengan ketentuan perbankan yang berlaku.
  2. Mengadakan program pelatihan Prinsip KYCbagi karyawan dan pejabat bank.
  3. Membentuk fungsi internal audit dan compliance function untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas kebijakan dan prosedur KYCdi dalam bank.

Berdasarkan PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum, maka Direktur Kepatuhan bank bertugas dan bertanggungjawab untuk menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bank telah memenuhi seluruh PBI (termasuk KYC) dan peraturan lain yang berlaku dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian, serta memantau dan menjaga agar kegiatan usaha bank tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku (termasuk KYC). Jika Direktur Kepatuhan bank tidak memenuhi kewajiban di atas, akan dikenakan sanksi berupa pembatalan persetujuan Bank Indonesia sebagai Direktur Kepatuhan dan bank wajib mengajukan calon Direktur Kepatuhan yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun