Mohon tunggu...
Tulus Barker Naibaho
Tulus Barker Naibaho Mohon Tunggu... Keliling Indonesia -

Traveller. Bercita-cita menjadi penulis dan menetap di London. IG @tulus182 youtube.com/tuluss182

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sirih Pinang, Parang, dan Pulau Sumba

22 Mei 2017   08:20 Diperbarui: 22 Mei 2017   09:35 4078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: menjaditua.blogspot.co.id"][/caption]

Penulis ingin membagikan sedikit pengalaman selama berada di Pulau Sumba, tepatnya di Kota Waikabubak, Sumba Barat, NTT. Pengalaman sekaligus pelajaran hidup yang penulis dapatkan semoga dapat memberi pesan yang bermakna untuk para pembaca sekalian.

Pulau Sumba merupakan pulau yang sejak kecil sudah penulis kenal lewat Peta Indonesia, karena penulis dahulu beranggapan kalau Pulau Sumba dan Sumbawa itu adalah saudara kembar.

Tidak banyak cerita yang sering kita dengar mengenai pulau ini, padahal Pulau Sumba, mulai dari Sumba Timur, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya,memiliki jujuran pantai nan indah dan tak kalah indah dengan daerah semacam Bali dan Lombok, sangat khas pantai Indonesia Timur.

Sangat jarang pula orang-orang yang bercerita tentang Pulau Sumba, terlebih lagi dikarenakan keeksotisan pulau ini tertutupi oleh daerah-daerah di NTT lainnya yang juga tak kalah indah, semacam Flores, Labuan Bajo, Pulau Komofo, dan lain sebagainya.

Awalnya penulis sendiri tidak tahu-menahu tentang pulau ini, selain nama pulaunya saja, itupun karena tertulis di Peta Indonesia.

Singkat, cerita sampailah penulis di Pulau Sumba. Perjalanan dari Jakarta menggunakam pesawat, lalu transit di Bali, dan terbang lagi nenuju Bandara Umbu Mehang Kunda, Kota Waingapu, Sumba Timur, NTT.

Sesampainya di Kota Waingapu memang penulis merasa biasa saja, karena Kota Waingapu sudah terbilang ramai dan maju seperti kota-kota kecil lainnya di Indonesia.

Tujuan penulis adalah Kota Waikabubak, Sumba Barat, NTT, yang jaraknya dari Kota Waingapu sekitar 4 jam. Menaiki mini bus non AC, penulis seperti direbus hidup-hidup karena kepanasan, dan keringat bercucuran.

Sepanjang perjalanan, sang supir memutar lagu-lagu rohani Kristen, seperti mencoba menidurkan para penumpangnya yang sedang kepanasan.

Empat jam berlalu, sampailah penulis di Kota Waikabubak. Kota itu masih cukup ramai ketika sudah lewat sembahyang Isa. Memang pull mini bus tersebut berada di dekat pasar raya Waikabubak.

Dengan baju yang masih basah kuyup karena keringat, penulis keluar dan mengamati sekeliling. Penulis merasa agak asing karena di pasar tersebut, kaum laki-laki banyak sekali yang menenteng parang di pinggangnya. Mereka sibuk larut dalam aktivitas malam di pasar tersebut. Sebagian masih berjualan, lalu sebagian lagi sudah ada yang menyusun jualannya untuk dibawa pulang.

Sebagai orang awam yang baru pertama kali menginjak Pulau Sumba, tentulah penulis belum terbiasa melihat kebanyakan laki-laki Sumba yang hampir setiap hari berlalu memakai baju adat dengan parang terselip di pinggangnya. Bahkan ada yang mengatakan kalau lelaki Sumba itu akan kebingungan jika tidak membawa parang.

"...lelaki Sumba itu akan kebingungan jika tidak membawa parang."

Singkat cerita, penulis mulai membiasakan diri dan berbaur dengan penduduk lokal. Untuk urusan watak dan sifat kerasnya orang-orang Indonesia Timur memang hampir-hampir mirip dengan orang Sumatera.Orang Sumba itu, khususnya laki-laki selain sering membawa parang kemana-mana, juga suka mengunyah 'sirih pinang'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sirih Pinang berarti Sirih pinang biasa dikunyah tentunya dengan buah sirih, buah pinang, dan kapur. Kalau masyarakat Sumba biasa mengunyah buah pinang yang masih muda dan belum dikuliti (masih segar dan belum dikeringkan), meskipun sebagian sudah ada yang mengunyah buah pinang matang yang dikeringkan (dijemur) terlebih dahulu.Umumnya daerah NTT, Timor, dan Papua masih mengkonsumsi sirih pinang karena dalam kesehariannya. Kalau orang Batak Toba yang dikunyah adalah daun dari tanaman sirih, bukan buahnya, serta juga dikunyah bersama dengan buah pinang matang yang sudah dikuliti dan dikeringkan, lalu  dipadu dengan kapur sirih.Rasa sirih pinang itu pahit bercampur pedas. Orang yang tidak terbiasa mengunyah sirih pinang pasti tidak akan tahan pada rasa pahitnya. Setelah dikunyah, sirih pinang tersebut akan membuat mulut menjadi merah, dan air liur akan berubah merah. Air di mulut tidak boleh ditelan, karena akan membuat mabuk disertai pusing dan sempoyongan. Jadi tidak sembarangan mengunyah saja. Biasanya orang-orang Sumba akan mempersiapkan gula pasir sebagai penetralisir agar pusing dan efek sempoyongan akibat sirih pinang bisa cepat hilang, karena apabila hal tersebut terjadi akan membuat jantung berdetak cepat, dan adrenalin terpacu, serta tubuh akan berkeringat, dan wajah memerah.Namun hal tersebut jarang sekali dialami oleh orang-orang Sumba yang biasa mengunyah sirih pinang. Mereka sudah paham betul cara mengunyah dan mengantisipasi efek dari sirih pinang tersebut.Sirih pinang sudah menjadi budaya di pulau Sumba. Tak peduli latar belakang pendidikan, strata sosial, pekerjaan, bahkan agama, karena semua golongan sudah terbiasa mengunyah sirih pinang. Penulis lebih sering melihat kaum laki-laki mengunyah sirih pinang ketimbang perempuan.Salah satu pelajaran yang penulis dapat dari budaya mengkonsumsi sirih pinang adalah bahwa lewat sirih pinang, masyarakat Sumba saling berhubungan baik serta mengenal satu sama lain. Dan memang yang paling menonjol adalah bahwa sirih pinang adalah simbol pergaulan dan pemersatu.

"...sirih pinang adalah simbol  pergaulan dan pemersatu."

Kalau di Sumba Timur, jika seseorang lewat di depan rumah orang Sumba, maka akan disapa dengan ucapan, 'nduhappa', yang artinya 'kami tidak bisa mengajak mampir karena tidak memiliki sirih pinang'. Lalu di Kodi, Sumba Barat, orang yang lewat akan disapa, 'njango hamama ooo!!', yang artinya 'maaf tidak ada sirih pinang!!'.Dikutip dari situs maxfmwaingapu.com , penyebab kenapa orang Sumba mengunyah sirih pinang itu karena merupakan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang orang Sumba, yaitu dua gadis kembar di Malaka Tana Bara. Singkat cerita, wanita yang paling sulung mencintai seorang pemuda yang rupawan, dan cintanya pun dibalas. Namun seiring perjalanan waktu, si pemuda tadi juga pencintai 'si bungsu' dari gadis kembar tersebut. Lalu karena kecewa,'si sulung' pergi bertapa ke hutan tanpa membawa bekal. Lambat laun 'si sulung' mulai lapar. Diluhatnya ada onggokan buah pinang yang jatuh dari batangnya, di dekat batu tempat 'si sulung' itu duduk bertapa sembari meratapi nasib. Tidak jauh dari tempat pertapaannya itu pula ada tanaman sirih yang merambat. Lalu dimakanya lah buah pinang beserta daun sirih untuk mengganjal rasa lapar. Saat membuang ludah (air liur) 'si sulung' terkejut melihat air liurnya berwarna merah pekat seperti darah. Segeralah 'si sulung' kembali dan menceritakan kisahnya ke seantero kampung. Itulah kenapa orang Sumba sampai sekarang masih mangkonsumsi sirih pinang. Orang Sumba juga masih beranggapan bahwa sirih pinang juga mampu menghilangkan ataupun menunda rasa lapar.Masih dikutip dari situs maxfmwaingapu.com , bagi orang Sumba sirih pinang adalah simbol 'hidung dan mata'. Dalam kepercayaan agama Marapu (agama/keyakinan asli orang Sumba), sirih dan pinang itu berasal dari hidung dan mata sorang dewa. Ketika 8 dewa dari langit turun ke bumi untuk menjalankan tugas, di perjalanan mereka kehabisan bekal. Akhirnya adik mereka yang bungsu  mereka bunuh dan makan separuh dagingnya. Ketika 7 dewa kembali ke langit Paraingu Marapu (surga), Mawulu Tau (Sang  Pencipta) menanyakan di mana adik mereka. Lalu ketujuh dewa itu menceritakan keadaan yang sebenarnya. Mawulu Tau menyuruh mereka melapor ke Umbu Walu Mandoku di tingkat kedua (Sang Pencipta di tingkat pertama). Lalu Umbu Walu Mandoku menanyakan apakah masih ada sisa daging adik mereka. Mereka mengatakan masih ada. Dari sisa-sisa daging adik mereka, Umbu Walu Mandoku menjadikan tumbuh-tumbuhan dan binatang. 'Daging'nya jadi padi, darah jadi jewawut, gigi jadi jagung, ruas jari jadi kacang, tangan jadi ubi kayu, kepala jadi ubi manusia dan kelapa. Sedangkan 'hidung' jadi sirih, dan 'mata' jadi pinang.Itu pengalaman dan pelajaran pertama penulis di Pulau Sumba, yaitu mengenal budaya sirih pinang orang Sumba. Pengalaman berikutnya akan penulis bagi di coretan selanjutnya.(Sumber: Cerita ini berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi penulis selama di pulau Sumba, dan beberapa dikutip dari artikel Frans W. Hebi di http://maxfmwaingapu.com/2014/10/budaya-makan-sirih-pinang/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun