Mohon tunggu...
Putri Khalidah
Putri Khalidah Mohon Tunggu... Penulis Lepas, Pengajar -

Penikmat dan Pengamat realitas Tuhan-Manusia-Alam putrikhalidah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Purnama

21 Maret 2016   19:06 Diperbarui: 21 Maret 2016   19:13 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Foto bulan purnama ini diambil dengan kamera hp samsung galaxy star pada bulan maret tahun 2013, di Surabaya."][/caption]

PURNAMA. Sudah banyak ribuan puisi yang telah menyematkan namanya. Rembulan, purnama, yang bersinar. Mungkin kekataku hanya akan jadi diksi biasa di antara puitisnya rima purnama.

Purnama. Lingkar sempurna. Kuning terang. Cinta yang dititipkan matahari, menjadikannya berkilau.

Langit begitu bersih, hanya sedikit awan yang melayang. Ada setitik bintang berkelip dekatnya. Tenang sekali langit malam ini. Seperti hendak menyeretku dalam kedamaian yang ia ciptakan. Menarikku dari pusaran kegelisahan. Kegelisahan akan hidup manusia yang penuh tanya. Hidup yang penuh kerapuhan. Hidup yang dihantui bayang-bayang nafsu kekuasaan manusia. Hidup yang tak mampu berkawan dengan alam. Hidup yang hampa tanpa Tuhan.

Purnama. Cahayanya menyerap masuk ke dalam mataku, menyusup tenggelam dalam memoriku, meredakan resahku, tangisku. Membangkitkan rasa kagum pada Yang Mampu Menciptakannya.

Kakiku melangkah di bawah langit. Pikiranku melayang ke detik-detik yang ada di belakang. Tentang hidup yang telah berlalu, tentang hidup yang aku jalani. Tentang manusia-manusia masa lampau, tentang sejarah-sejarah yang memukau. Tentang keputusanku yang telah berjanji pada Tuhan. Janji untuk selalu patuh padaNya. Janji untuk menaklukan nafsu-nafsu manusia. Janji untuk berkawan dengan alam raya.

Langkah ini terasa berat. Ketika jalur berganti-ganti musim. Ada permukaan berair, ada pula yang gersang panas. Ada permukaan berduri, ada pula licin di kaki. Ada permukaan berlumpur, ada pula kepalsuan yang tumbuh subur.

Purnama. Terkadang, aku ingin menyerah saja. Diam, pasrah menerima semuanya terjadi padaku. Seperti engkau yang pasrah menerima cinta matahari. Menjadikanmu bersinar terang. Tapi apakah dengan kepasrahanku, aku juga akan bersinar? Padahal engkau juga memiliki upaya, untuk dapat berotasi sesuai jalur yang telah ditetapkan. Agar cahaya cinta matahari dapat kau tangkap seutuhnya. Untuk kaunaungi malam di bumi.

Hukum rimba berkata, yang paling kuat dialah yang menang. Bolehkah bila kumaknai, yang mampu bertahan hingga akhir, dialah pemenang. Seperti hidup ini bukan, Purnama? Dia yang mampu bertahan, dialah pemenang sejati. Sejati. Tentunya yang sejati dialah yang bertahan dengan tidak menindas, menghancurkan, berbuat kerusakan. Niscaya penindasan yang dilakukan akan menghancurkannya di akhir. Seperti bumi ini yang semakin renta. Manusia-manusia yang menari dengan nafsu melemahkan bumi, mereka tidak akan bertahan lama. Karena bumi yang tua, semakin keropos karena mereka sendiri. Lalu bumi akan linglung dari jalurnya, bisa saja dia menabrakmu kan, Purnama? Ah, itu hanya imajinasi ketakutanku saja.

Purnama. Kau begitu tenang, sedang pikiranku bergemuruh. Amarah terpendam kepada mereka yang dengan bangga merusak keseimbangan. Mereka yang menampikkan Tuhan, mereka yang mengejar harta dan kuasa, mereka yang merapuhkan alam raya.

Purnama. Kau begitu sabar, menanti waktu yang tepat untuk bersinar. Berbagi waktu dengan awan, hujan, petir untuk memenuhi langit ini. Sedangkan perasaanku selalu terburu-buru. Menuntut kesempurnaan pada lingkungan sekitarku. Sedang aku tak menciptakan kesempurnaan sepertimu, yang bercahaya di malam ini. Begitu sempurna. Ajari aku untuk berpeluk dengan kedamaian. Lalu membaginya pada manusia dan alam raya yang sedang dirundung kegelapan.

Ajari aku menjadi sebijak dirimu, yang tenang bersinar di tengah kegelapan.

Surabaya, 21 Maret 2016.

*purnama sebelum gerhana tiba

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun