Sudah dua hari kambing itu berada di rumah Kamil. Sudah dua hari pula Kamil tidak bermain di halaman belakang, tempat kambing itu berada, karena ia tidak suka bau kambing. Si Kambing, begitu sebutan Kamil untuk kambing itu, merupakan pemberian kakek Kamil yang akan dikurbankan di hari raya Idul Adha lusa.
Malam itu, dengan mata yang dipenuhi kantuk, Kamil berjalan menuju dapur untuk mengisi tenggorokannya yang terasa haus. Tepat ketika baru saja selesai meneguk segelas air, Kamil dikejutkan suara embek kambing.
Kamil mengintip dari jendela dapurnya. Dilihatnya Si Kambing duduk sendirian dipojokkan dengan hanya diterangi cahaya lampu neon teras belakang. Suara embeknya masih mengalun walau kini tidak sekeras tadi.
Pasti Si Kambing sedang kesepian sekarang, begitu pikir Kamil. Apakah Si Kambing punya keluarga dan teman-teman? Apakah mereka semua tahu bahwa Si Kambing sedang berada di sini sekarang? Apakah mereka khawatir? Tahukah Si Kambing bahwa ia akan disembelih dua hari lagi? Apakah Si Kambing sedih? Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar di kepala Kamil sebelum akhirnya ia memutuskan untuk tidur karena besok harus masuk sekolah.
Keesokan harinya, sepulangnya dari sekolah, Kamil langsung pulang ke rumah. Tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu, ia bergegas menghapiri pintu dapur yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Si Kambing itu masih ada di sana, sedang makan rumput halaman belakang.
Sambil menutup hidungnya, Kamil menghampiri tempat Si Kambing berada. Melihat Kamil datang mendekatinya, Si Kambing megembek pelan. Kamil kemudian mengelus kepala Si Kambing dengan tangannya yang lain. Timbul rasa kasihan di hati Kamil karena mengetahui Si Kambing akan disembelih besok, setelah shalat Ied.
Suara ibu Kamil yang menyuruhnya untuk berganti pakaian dan makan siang membuat Kamil kembali masuk ke dalam ke rumah. Setelah itu tidak terjadi interaksi apa-apa lagi antara dirinya dengan Si Kambing. Kamil menghabiskan sorenya dengan menonton acara televisi, makan malam lalu tidur.
Suara petir membangunkan Kamil dari tidurnya. Di luar hujan. Sayup-sayup terdengar suara takbir yang beradu dengan bunyi petir dan tetesan hujan. Tiba-tiba Kamil teringat akan Si Kambing di halaman belakang. Pasti Si Kambing sedang kedinginan dan kehujanan sekarang. Bergegas Kamil menuju halaman belakang.
Kamil berlari menembus hujan. Dihampirinya Si Kambing yang sedang duduk meringkuk. Perlahan dilepaskan tali pengikat Si Kambing dan membuka pintu gerbang belakang. Secara tidak langsung, Kamil ingin agar Si Kambing pergi, kembali kepada keluarga, dan mendapatkan kebebasannya.
Keesokan paginya, saat bersiap untuk melaksanakan shalat Ied, Kamil menyempatkan dirinya untuk melihat ke halaman belakang. Si Kambing masih berada di sana. Ada juga kedua orang tuanya yang sedang kebingungan mengapa pintu gerbang belakang bisa terbuka dan menduga bahwa ada pencuri yang berusaha masuk.
Seselesai shalat Ied, si kambing dibawa ke lapangan depan masjid untuk disebelih sebagai hewan kurban. Tidak tega melihat Si Kambing disembelih, Kamil hanya mampu bersembunyi di balik tubuh ayahnya.
Sempat mengintip sesaat, Kamil beradu pandang dengan Si Kambing. Ada keikhlasan yang terpancar dari mata Si Kambing. Keikhlasan yang membuat setetes air mata Kamil berlinang. Cepat disekanya air mata itu. Kini Kamil tidak bersembunyi lagi. Ia menyaksikan Si Kambing disembelih, menggelepar, dan akhirnya menutup mata. Mati.
Siangnya, Kamil beserta keluarga menyantap gulai dan sate yang dagingnya berasal si kambing. Idul Adha tahun ini telah mengajarkan Kamil tentang arti sebuah pilihan dan kelikhlasan dalam berkorban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H