Mohon tunggu...
Muhammad Ibrahim Isa
Muhammad Ibrahim Isa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Memasuki dunia perkuliahan pada tahun 2009. Alhamdulillah kini sudah memasuki tahun ke 4. Sebelum bersama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, sempat berkutat dengan sekolah asrama di Magelang, SMA Taruna Nusantara dan salah satu sekolah swasta di Rawamangun, SMP Labschool Jakarta. Kini mencoba mengaktifkan diri sebagai penulis, wirausahawan, dan investor.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Warga Jakarta Cerdas Kok!

2 Agustus 2012   03:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_197714" align="aligncenter" width="465" caption="Sumber Gambar: republika.co.id"][/caption] Isu mengenai suku, agama, ras dan antargolongan sedang merebak dalam Bulan Ramadhan kali ini. Isu tersebut muncul berkaitan dengan Pemilukada DKI Jakarta di mana salah satu calonnya merupakan anggota masyarakat yang dianggap minoritas dari Warga DKI Jakarta. Isu ini semakin memanas dan dikhawatirkan memicu konflik di kemudian harinya. Masalah yang terjadi adalah banyak pihak-pihak yang memang berkeyakinan bahwa seorang pemimpin haruslah seorang muslim. Tidak seharusnya memaksakan sebuah keyakinan, walaupun dalam ayat memang disebutkan mengharamkan pemimpin non-muslim. Saya seorang muslim dan saya mengetahui ayat itu. Memang tertulis ayat yang demikian, namun benarkah pemimpin yang kita pilih seorang non-muslim? Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok memang seorang non-muslim. Beliau beragama Kristen Protestan. Namun, perlu diketahui bahwa Beliau merupakan seorang Calon Wakil Gubernur, masih ada Calon Gubernurnya, yaitu Joko Widodo atau yang biasa dipanggil Jokowi. Pak Jokowi merupakan seorang muslim yang taat. Perjalanan Beliau ke tanah suci dalam Bulan Suci Ramadhan menunjukkan hal demikian. Mengapa? Karena saat tahun lalu saya melaksanakan ibadah umrah pada Bulan Suci Ramadhan, temperatur di Mekkah menunjukkan angka 53 derajat Celcius. Jika bukan seorang muslim yang taat, rasanya tidak akan sanggup untuk berbulan Ramadhan di tanah suci Mekkah dan Madinah. Namun, banyak yang menghembuskan isu Beliau Islam Kejawen. Namun, tidak pernah ada yang mampu membuktikannya. Kalaupun benar Pak Jokowi seorang Islam Kejawen, mengapa masyarakat tidak ribut-ribut dengan sosok Sri Sultan Hamengkubuwono di mana sudah menjadi rahasia umum bahwa Sultan di DIY tersebut tidak menjalankan Islam secara murni. Banyak ritual-ritual dilakukan yang dapat dikatakan sebagai bid'ah atau ibadah yang diada-adakan. [caption id="attachment_197712" align="aligncenter" width="663" caption="Sumber Gambar: news.nasional.vivanews.com"]

13438781901086630727
13438781901086630727
[/caption] Seharusnya, banyak yang menentang sosok Sri Sultan. Apalagi mayoritas Warga DIY beragama Islam. Namun, pada akhirnya orang-orang pun memaklumi dan menganggapnya sebagai pelestarian budaya. Kok, jadi lucu ya? Di satu sisi dihembuskan isu bahwa Jokowi Islam Kejawen yang nyatanya tidak benar, di sisi lain ada yang jelas-jelas menjalankan ibadah Islam yang diada-adakan tapi tidak ditentang. Di sini saya hanya menjadikan sosok Sri Sultan sebagai contoh kecil saja, saya yakin banyak di daerah lain yang demikian, namun tidak mengalami penentangan sama seperti yang terjadi pada Sri Sultan. Saya mohon maaf jika ada yang tersinggung, tapi jika memang ada yang tersinggung, singgungan itu berarti pertanda memang terjadi hal yang demikian. Kembali ke topik awal, benarkah yang kita pilih seorang non-muslim? Isu Pak Jokowi yang beragama Islam Kejawen tidak terbukti. Pak Jokowi pun terbukti sebagai seorang Islam yang taat yang memang disandingkan dengan Pak Ahok untuk menunjukan bahwa Warga Jakarta merupakan warga yang terbuka bagi siapapun. Terbuka untuk menerima perubahan, terbuka untuk semua golongan dan terbuka untuk mendapatkan yang lebih baik. Warga Jakarta harus lebih pintar menyikapi isu-isu seperti ini. Apalagi, memang banyak dalam ceramah-ceramah di beberapa masjid, isu ini terus dihembuskan. Padahal, jika memang ingin mengingatkan, mengapa tidak sepanjang waktu? Kenapa terjadinya eventual seperti ini? Memang seperti ada agenda tertentu dalam kasus ini. Warga Jakarta sudah cerdas kok, tidak perlu dibodoh-bodohi seperti ini. NB: Jika Sri Sultan Hamengkubuwono mencalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden, kira-kira isu ini muncul kembali tidak ya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun