Benarkah kekhawatiran berlebih masyarakat timbul akibat determinasi media massa?
Kekhawatiran yang timbul di masyarakat diakibatkan oleh media massa yang pada awal merebaknya kasus positif corona di Indonesia justru banyak menyampaikan hal- hal yang menimbulkan ketakutan atau kepanikan akan virus ini. Dibanding memberitakan cara pencegahan dan bagaimana penularannya, media massa justru banyak membahas kota Wuhan dan negara- negara yang lumpuh dalam waktu singkat akibat virus corona. Selain itu, turut memunculkan opini-opini seperti belum ditemukannya vaksin dari virus ini, isu- isu konspirasi corona, dan dugaan bahwa corona sebagai senjata biologis China.
Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang masih minim akan literasi dan nampaknya belum cukup mampu untuk menerima kemajuan teknologi dan informasi yang pesat sehingga masyarakat Indonesia cenderung mudah menerima dan menyebarkan informasi apa pun yang diterimanya, maka wajar saja apabila media massa yang merupakan sumber informasi utama dan penghubung antara pemerintah dan warga negara mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membangun persepsi dan opini masyarakat terhadap peristiwa pandemi corona ini.
Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengurangi atau membatasi penyebaran covid 19?
Tidak ada kebijakan yang sempurna. Ada risiko dari setiap kebijakan yang dikeluarkan. Apalagi dalam penanganan pandemi corona yang merupakan virus baru dan tidak ada yang tahu pasti tentang cara atau aturan apa yang mampu untuk menghentikan laju penyebaran COVID 19 ini.
Semua negara yang terjangkit melakukan upaya- upaya dalam menanggulangi COVID 19 dengan cara sesuai kondisi negaranya masing- masing. Indonesia berupaya dalam menanggulangi penyebaran COVID 19 ini dengan mengeluarkan sejumlah aturan yang saya rasa cukup memiliki alasan yang jelas jika dilihat dari pernyataan Presiden Jokowi dalam siaran live Mata Najwa pada tanggal 22 April 2020.
Namun, kembali lagi bahwa kebijakan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo tidak akan mampu untuk menyenangkan hati semua warga negaranya. Bahkan, kebijakan antarkementerian saja masih terkesan tidak sejalan.
Sebagai contoh, kasus yang beberapa waktu lalu banyak dibahas tentang perbedaan aturan dari kementrian kesehatan dan kementrian perhubungan terhadap ojek online yang mengangkut penumpang. Masih ada tumpang tindih peraturan karena ego sektoral dari masing- masing kementrian. Padahal, setiap kebijakan akan berhasil apabila birokrasinya berjalan dengan baik. Namun, kelemahan Indonesia sejak dulu yang tidak pernah berubah adalah birokrasi dan regulasi yang masih tampak "amburadul".
Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai upaya menghentikan laju penyebaran Covid-19 adalah kebijakan yang kita kenal dengan sebutan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Melalui kebijakan ini pemerintah secara ketat membatasi kegiatan masyarakat di luar rumah dan penerapan physical distancing di ruang-ruang publik.
Menurut saya, penerapan sistem PSBB di beberapa wilayah adalah kebijakan yang cukup sesuai. Karena, dengan kondisi perekonomian Indonesia, negara ini belum cukup mampu untuk menerapkan sistem lockdown. Namun yang sangat disayangkan, pemerintah terlalu lamban dalam upaya mitigasi bencana nonalam ini. Alangkah lebih efektif apabila sistem PSBB dilakukan jauh-jauh hari. Ditambah dengan regulasi yang berbelit- belit, membuat pengajuan PSBB oleh Anies Baswedan menjadi sedikit terhambat.
Saya ingat sekali, di awal merebaknya virus corona di Wuhan dan beberapa negara lainnya, sama sekali tidak membuat pemerintah Indonesia melakukan upaya untuk setidaknya sosialisasi terhadap masyarakat tentang bahaya virus ini, cara penularannya, dan bagaimana mencegahnya.
Bahkan banyak tersebar di internet bahwa Indonesia kebal dengan virus corona karena iklimnya yang tropis. Minimnya pengetahuan masyarakat untuk memilih berita, membentuk opini masyarakat untuk bersikap tenang dan masih tidak peduli terhadap kebersihan dan kesehatan diri. Selain itu, setelah ditemukannya dua kasus pertama virus corona pun pemerintah masih lambat dalam upaya pembatasan bandara dalam penerbangan nasional maupun internasional serta upaya dalam pengadaan sistem pengecekan suhu tubuh dan sanitizer di ruang- ruang publik.
Mana yang lebih utama, Kesehatan atau perekonomian?
Mendahulukan keselamatan warga negara perlu diutamakan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan dan ekonomi memiliki relevansi yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu mengatasi Covid-19 dengan membuat kebijakan yang efektif (cepat dan tepat) sehingga negara akan cepat pula membangun kembali keterpurukan perekonomian masyarakat. Negara harus bisa mempertanggungjawabkan setiap kebijakan yang dikeluarkan dan terbuka terhadap warga negara. Selain itu, kebijakan yang diambil harus bersifat komprehensif dari pusat sampai ke daerah. Jangan terkesan lambat yang pada akhirnya semakin banyak korban berjatuhan.
Di sisi lain, kita sebagai warga negara juga harus menyadari bahwa upaya penanggulangan Covid-19 ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja melainkan tanggung jawab bersama. Untuk itu, masyarakat harus disiplin dengan aturan atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan membangun solidaritas yang lebih erat untuk saling membantu serta menjauhkan diri dari stigmatisasi korban corona. Kondisi di tengah pandemi ini menyadarkan kita tentang pentingnya gotong royong dan bahu membahu dalam mencegah penyebaran Covid-19 ini. Lupakan untuk saling menyalahkan dan jadikan setiap kekurangan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H