Dapat dilihat, bahwa manusia kini hidup di zaman modern dengan kemajuan teknologi informasi yang sangat luar biasa. Segala sesuatu dapat diakses dengan sangat cepat di ponsel pintar pribadi yang dimiliki. Bahkan peristiwa terkini yang sedang terjadi di belahan dunia lain atau isu-isu internasional bisa didapatkan dengan sangat mudah. Tak hanya itu, dampak dari kemajuan teknologi informasi sekarang ini juga nyatanya hampir terasa di semua aspek kehidupan manusia, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan bahkan hingga ke ranah keagamaan.
Sosial media sebagai salah satu buah yang lahir dari kemajuan teknologi informasi, memberikan akses yang begitu mudah kepada masyarakat untuk mendapatkan ilmu dan pencerahan seputar agama Islam. Banyak akun-akun sosial media di berbagai platform baik di Facebook, Instagram dan YouTube yang secara khusus dibuat untuk membagikan informasi atau ilmu seputar agama Islam. Tentu ini menjadi sangat bermanfaat, karena untuk orang-orang yang memiliki kesibukannya masing-masing dapat dengan mudah menyimak materi-materi yang di dapat di sosial media tanpa harus menghadiri kajian ilmiah secara langsung, belum lagi dengan adanya pandemi yang ikut membatasi ruang gerak pengajian-pengajian rutin yang biasanya ada ditengah masyarakat.
Namun sayangnya, tidak semua pohon berbuah manis. Keberadaan sosial media ini juga terkadang membawa dampak negatif bagi masyarakat, karena dengan sosial media masyarakat dapat dengan mudah berbicara, berkomentar, berpendapat bahkan berfatwa tanpa landasan keilmuan yang kuat, tapi orang berbicara hanya atas dasar ego dan hawa nafsu yang berlindung di bawah hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom of Speech). Sehingga banyak bermunculan orang-orang yang berfatwa tanpa dasar ilmu, orang-orang yang menjadi hakim bagi yang lain, menjadi seolah yang paling paham masalah halal haram, melihat fenomena baru yang tidak ada di masa Nabi SAW langsung membid’ahkan, bahkan tak jarang ada juga yang sampai mengkafirkan satu sama lain, na’udzubillahi min dzalik.
Orang yang berbicara tentang agama tanpa didasari dengan ilmu masih marak dijumpai di tengah masyarakat. Ini menjadi musibah dan cobaan bagi umat muslim khususnya yang ada di Indonesia yang harus segera disadari sedini mungkin. Politikus berbicara masalah agama, insinyur berbicara masalah agama, ekonom berbicara masalah agama, bahkan orang awam pun ikut berbicara masalah agama yang diluar kapasitas dan keilmuannya. Dan yang paling dikhawatirkan oleh Nabi SAW adalah, ada orang-orang yang berbicara masalah agama dan menjadi fitnah dalam kehidupan.
Melihat permasalahan ini, yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah bagaimana sebenarnya Islam mengatur kebebasan berbicara?
Indonesia sebagai negara hukum, mengenai aturan kebebasan berpendapat sebenarnya telah diatur dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yaitu, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Selain itu, dalam pasal 28F juga disebutkan, ”setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Penjelasan mengenai kedua pasal tersebut diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum pasal 1 ayat 1, bahwa “kemerdekaan menyampaikan pikiran dengan lisan,tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.” Undang-undang ini menegaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mendasar dalam kehidupan yang dijamin dan dilindungi oleh negara.
Di sisi lain, Islam sebagai agama yang sempurna tentu juga telah mengatur akan hal ini dengan perangkat hukum yang ada di dalamnya yaitu dalam al-Qur’an dan hadits. Islam melarang umatnya untuk menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui secara pasti kebenarannya, samar-samar atau kabar-kabar angin yang tidak jelas sumbernya, bukan malah justru mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, dan berbicara agama tanpa ilmu juga termasuk dalam berdusta atas nama Allah SWT. Mengenai hal ini telah disebutkan dalam al-Qur’an surah an-Nahl ayat 116 yang artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung”. (Q.S an-Nahl: 116).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim juga disebutkan bahwa Nabi SAW mengatakan “Jika kamu berbicara (menyampaikan ucapan) tentang sesuatu perkara kepada suatu kaum padahal perkara itu tidak terjangkau (tidak dipahami) oleh akal pikiran mereka, niscaya akan membawa fitnah di kalangan mereka”. (HR. Muslim).
Tak hanya itu di ayat lain juga dikatakan dalam al-Qur’an bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah dikatakan oleh hamba-Nya, baik kepada sesama manusia di dunia maupun kepada Allah SWT di akhirat kelak. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Isra’ ayat 36 yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S al-Isra’: 36).
Melihat hukum yang berlaku di Indonesia dan juga apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan hadits Nabi SAW menunjukkan bahwa Islam sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan ini yakni berbicara tentang agama tapi tidak memiliki ilmu. Ini menjadi penting untuk diperhatikan karena dengan berbicara agama tanpa ilmu dapat membuka pintu keburukan yang lain. Bahkan ada juga ulama yang berpendapat bahwa berbicara agama tanpa ilmu merupakan dosa besar yang lebih besar dari kesyirikan kepada Allah SWT.
Sehingga dalam hal ini penting sekali bagi seluruh umat muslim untuk menanamkan rasa kejujuran, kesadaran dan kebesaran hati untuk menjawab “saya tidak tahu” jika ditanya tentang agama yang memang di luar pemahaman diri kita sendiri, bukan malah berpendapat tanpa landasan yang kuat, karena agama itu persoalan dalil bukan tentang sekedar opini yang berkembang. Bahkan para ustadz, ‘alim, atau kyai tidak akan berbicara mengenai hal-hal yang bukan urusannya, dalam hal ini adalah untuk sesuatu yang berada diluar jangkauan keilmuannya.
Menjawab “saya tidak tahu” sama sekali bukanlah bentuk kebodohan atau perendahan terhadap diri sendiri, tapi justru merupakan sebuah adab, bentuk ketakwaan, kejujuran hati, dan kekuatan agama dalam diri seorang muslim. Karena ia sadar jika dirinya berbicara di atas ego dan hawa nafsunya mengenai agama Allah sama sekali tidak akan memberi jalan keluar mengenai pertanyaan yang diajukan kepadanya, tapi justru akan memperkeruh pemikiran dan pemahaman banyak orang. Bukannya mendatangkan manfaat, tapi secara sadar atau tidak sadar jawabannya tersebut malah mendatangkan mudharat, tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk orang lain di sekitarnya yang terpapar oleh lisannya tersebut. Jadi kalau ditanya tentang agama, jika tak tahu, maka jangan sok tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H