Mohon tunggu...
Alamul Huda
Alamul Huda Mohon Tunggu... Pelajar -

Bukan siapa-siapa. Hanya seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Ibukota. Menikmati hiruk-pikuk kehidupan di pinggiran Jakarta. Mencoba berbagi apa saja yang dialami dan dipikirkannya lewat nulis di Kompasiana. Semoga mencerahkan!. Twitter: @hudadotcom // Facebook: https://www.facebook.com/hudabwi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mari Belajar dari Sopir Angkot yang Satu ini!

26 Maret 2017   08:40 Diperbarui: 26 Maret 2017   17:00 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjelang maghrib Jumat kemarin, seorang teman meminta saya untuk datang ke tempat tinggalnya di daerah Pondok Cabe. Karena posisi saya di Pondok Labu, sehingga untuk ke sana via angkot hanya bisa dilalui dengan 2 (dua) cara: (1) angkot yang laungsung Pondok Labu-Pondok Cabe atau (2) Pondok Labu-PDK kemudaian naik angkot PDK-Pondok Cabe.

Durasi waktu yang paling cepat yang dibutuhkan untuk sampai ke Pondok Cabe sebenarnya angkot pertama. Tapi saya tidak memilih angkpt ini karena armadanya yanga sangat sedikit. Sehingga untuk menunggu angkot ini, saya harus menghabiskan waktu yang lumayan panjang. Bahkan dulu, saya pernah menunggu hampir satu jam lamanya. Juga, saat kemarin itu sudah malam, otomatis sangat langka lagi angkot yang beroperasi.

Satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah angkot nomer dua, yaitu transit ke PDK. Kebetulan kameran ada seorang teman yang sedang main di tempat saya di Pondok Labu yang saat itu juga ia akan pulang dengan melewati PDK, akhirnya saya berinisiatif untuk numpang saja. Hitung-hitung menghemat keuanganan. Hehe.

Karena malam, saya tidak mengenakan helm. Maaf, ini jangan ditiru. Tidak baik. FYI, baik siang atau malam, jalur jalur Pondok Labu-Lebak Bulus, aman-aman saja. Tak ada polisi yang razia. Dan jika ada pun hanya polisi lalu lintas.

Setelah sampai di PDK, saya menunggu angkot yang akan melewati Pondok Cabe. Jika dari arah Lebak Bulus (yang otomatis akan juga melewati Pondok Cabe), ada dua angkot yang bisa ditumpangi. Pertama, angkot jurusan Pamulang, warna putih biasanya. Dan kedua, angkot jurusan Parung, biasanya warna biru. Alhmdulillah malam kemarin itu saya dapat angkot yang biru.

Dengan menenteang tas, dan berpaiakan kaos dan sarung, saya masuk angkot. Malam itu, angkot tak begitu banyak penumpangnya. Lumayan longgar. Hanya ada beberapa saja. Mungkin ini karena banyak orang di Jakarta dan sekitarnya yang menggunakan kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor. Dan karena inilah, Jakarta macetnya minta ampun. Apalagi jam segitu, macet sedang dalam puncak-puncaknya. Hal ini karena memang sedang banyak-banyaknya orang pulang kerja.

Karena berangkat agak buru-buru, barang-barang yang saya masukkan di tas tak begitu rapi penataannya. Cas hp dan headset saya masukkan di saku tas yang paling kecil. Padahal di situ tempat saya menaruh pulpen dan barang-barang kecil lainnya. Sehingga dalam angkpt pun, saya “terpaksa” memindahkan dua barang itu ke tempatnya yang layak seperti biasanya.

Sekitar setengah jam setelahnya, saya bilang ke Pak Sopir, “Pak, depan kiri, ya!”. Sejurus kemudia angkot berhenti, saya turun dan memberikan uang pecayan lima ribuan cetakan baru sebagai biaya transportasinya. Alhamdulillah saya telah sampai di Pondok Cabe dengan selamat.

***

Ada hal berbeda yang saya rasakan dalam angkot malam itu. Saya merasa ada yang aneh. Pasalnya tak biasanya saya merasakannya jika di dalam angkot. Satu rasa yang membuat saya nyaman. Apa itu? Wangi. Iya, sopir itu memasang pengharum ruangan di atap angkotnya. Sebagai penumpang saya sangat bahagia. Saya yakin penumpang lain pun merasakan hal yang sama.

***

Dari angkot malam itu saya mendapat pelajaran bereharga. Suatu pelajaran yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehar-hari, yakni tentang tatacara dan adab berkompetisi.

Sopir angkot malam itu mengejarakan bahwa dalam berkompetisi harusnya mengunggulkan potensi, kelebihan, visi misi antar para peserta kompetisi. Saling menampilkan program kerja masing-masing. Saling menarik simpati orang lain agar mendukungnya. Bukan justru saling menjatuhkan satu sama lain.

Jika hal ini (saling menjatuhkan) dianggap legal, maka akan terjadi gonjang-ganjing di tengah-tengah kita. Dan kesemuanya itu akan menimbulkan rasa tidak nyaman, bukan hanya pada psikologi antar perserta kompetisi, bahkan kepada para penonton.

Bekompetisilah secara sehat, Kawan!

Jakarta Selatan, 26 Maret 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun