Mohon tunggu...
Nun Urnoto El Banbary
Nun Urnoto El Banbary Mohon Tunggu... Penulis - adalah nama pena dari Urnoto.

Menulis apa saja, mulai kebaikan sampai kejahatan. Baik fiksi maupun nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setan Merah Di Taman Adipura

23 Maret 2014   00:06 Diperbarui: 20 September 2015   02:30 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="cabe merah"][/caption]

Betapa kagetnya saya, ketika menyaksikan batang-batang tetumbuhan di Taman Adipura Kabupaten Sumenep bergelang cat merah dan hitam. Baru sekarang saya merasa Taman Rakyat serupa mata iblis yang mengerikan. Membuat saya—secara alami—tidak nyaman lagi berteduh di sana. Mungkin, demikian juga pengunjung taman yang lain, yang tak punya nyali bersuara atau diam-diam mereka sudah terkena virus merah itu.

Melihat warna merah mencolok yang bertebaran di seluruh taman, saya segera teringat bahwa sebentar lagi pemilu akan segera tiba. Saya berkeyakinan, bahwa itu adalah ulah pemerintah. Partai politik tidak mungkin berani tanpa rekomendasi dari pemerintah yang punya otoritas mengelola Taman Adipura secara profesional.

Tapi kenapa harus merah? Bukankah Taman Adipura sejak lahir warnanya sudah hijau? Penguasa tertingginya juga hijau? (semoga bukan kolor ijo) Siapa sebenarnya aktor tidak intelek yang telah berani merenggut keperawanan tamanku yang asri, dan berani-beraninya menginjak penguasa yang sebenarnya juga suka warna hijau? Apakah sang penguasa sudah dirasuki setan merah, lalu lupa warna hijau yang dahulu dibelanya setangah mati? Atau jangan-jangan sang penguasa sudah menjadi boneka yang tak berdaya. Atau malah tengah keasyikan bermain boneka panda yang dibelinya dari pulau tetangga?

Sebagai rakyat kecil, saya menjadi bego memaknai kehendak pemimpin saya—yang saya kira juga tertular bego yang melanda diri saya—atau juga tertular bego rakyatnya yang terlanjur dianggap bego dengan warna seribu merah di taman itu. Sungguh saya bingung!

Saya mulai merasa hawa panas Taman Adipura menyergap sekujur tubuh. Wajah politikus yang tiba-tiba muncul dari tengah-tengah taman Adipura datang menyelinap ke dalam benak saya, membawa cat merah agar saya mengecat becak yang baru saja saya tumpangi. Sial nian saya ini! Politikus gentayang di Taman Rakyat yang sudah tak lagi perawan dan menyemburkan api virus yang nyaris mengenai wajah saya.

Siapa yang telah memerintahkan Taman Adipura dikuasa Setan Merah? Lihatlah! Setan merah mulai berkampanye dengan alihrupa serupa bunga-bunga, dan sama-samar menjelma menjadi batang-batang kayu yang tumbuh rindang di sepanjang gang kecil yang lengang, karena rakyat mului ketakutan berkunjung, kecuali pada malam-malam gelap, karena si Merah tak terlalu nampak ke permukaan taman yang pengap.

Waduh, tadinya saya mau menulis esai kritik tentang taman, kok malah jadi cerita horor seperti ini? Jangan-jangan saya mulai kerasukan Setan Merah yang diam sudah menjangkit di dadaku. Aku berlindung dari godaan setan merah yang terkutuk itu.

Jangan sampai kota kita, Taman Adipura tercinta atau bahkan Masjid Jami’ yang berdiri di dekatnya kerasukan juga. Mari, jaga anak-anak kita, rumah kita, tetumbuhan yang di tanam di depan rumah, lembu-lembu di kadang atau apa saja yang kita punya, dari gangguan Setan Merah yang sudah merampas fasilitas negera, fasilitas tempat kita rehat saat penat.

Sesungguhnya, kita telah berdosa membiarkan taman yang kita cinta berabad-abad lamanya dirampas dan dicoreng seenaknya saja. Bantulah sang penguasa yang konon kata orang-orang sudah menjadi boneka setan merah. Bergeraklah! Sebelum masji Jami’ menjadi tumbal berikutnya.

Kita tak buta warna bukan? Jadi, jangan biarkan mereka menginjak-nginjak mata kita, karena sesungguhnya kita tak buta. Jangan katakan, warna dan taman hanya persoalan sepele, sebab nanti mereka akan lebih bernafsu untuk menguasai, saat kita merelakan diri untuk diperkosa berkali-kali.

Setiap penindasan, sekecil apa pun, harus di lawan! Mungkin hanya kemampuan macam itu yang nanti di hadapan Tuhan, kita haturkan! Mungkin suara penolakan kecil kita pada kezaliman membebaskan diri kita dari sengatan neraka jahanam. Sekali lagi, jangan relakan kehormatan kita diinjak dengan warna-warna yang membodohkan.

Jangan lupa, larangan penggunaan fasilitas negara tertuang dalam Pasal-Pasal 84 ayat (1) huruf h UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Pasal 3 jo Pasal 21 PP No. 14 Tahun 2009, Pasal 26 ayat (1) huruf h Peraturan KPU No. 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPRD, DPD.

Lawan!Anak-Anak Revolusi!

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun