Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kerja Keras vs Sensitivitas di Puncak Pandemi

15 Juli 2021   08:22 Diperbarui: 15 Juli 2021   11:03 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kerja Keras vs Sensitifitas di Puncak Pandemi

JC Tukiman Tarunasayoga

 

Kemarin, sepanjang Rabu, 14 Juli, salah satu grup whatapps yang saya ikuti, -terdiri dari 250 "anggota"- ,  diskusinya sontak "terbelah" menjadi dua kubu.  Satu kubu sangat bisa memahami rasa jengkelnya  (marahkah beliau?) seorang menteri kepada anakbuahnya di tengah-tengah tuntutan kerja keras saat ini. Sangat manusiawilah bila siapa pun  (termasuk menteri) jengkel  ketika  semua pihak  (utamanya ASN??) seharusnya  kerja keras dan kerja cerdas di saat-saat  genting karena pandemi  Covid 19 ini,  dan di depan matanya  pimpinan itu menjumpai kondisi kerja yang justru sebaliknya. Sebutlah secara ekstrim: Wis ora kerja keras, ora cerdas lagi; tidak menampakkan etos kerja kerasnya,  nampak tidak cerdas lagi. Sekali lagi, hanya aparat (pimpinan?) bermental setengah dewalah bila tidak jengkel menjumpai kondisi semacam itu.

Konon, itulah kubu yang sangat bisa memahami,  -empatikah- , nuansa kebatinan pimpinan yang sedang sangat dituntut dan menutut kerja keras dan cerdas kepada anakbuahnya, dan dalam kondisi semacam itu sangat manusiawi bila menjadi sangat sensitif. Di dalam perpaduan kerja keras dan sensitivitas itulah, terlontar ungkapan yang kemudian menjadi sangat trending bahkan nyaris menuai tuduhan SARA. Dan karena inilah,  menurut kacamata kubu yang lain,  kerja keras akan senantiasa membawaserta sensitivitas yang tidak terkontrol.  Sampai-sampai, ada anggota grup yang menulis "sangat terluka" karena lontaran dan  ada kata papua di dalamnya.  Kubu yang satu ini memang kemudian terkesan kena imbas  dan menjadi sensi sendiri, seolah-olah merasa dirinya yang menjadi "targetnya." 

Diskusi WA grup ini (catatan: meskipun tadi saya sebutkan anggota grup itu 250 orang, namun yang  "terbelah"  menjadi dua kubu tidak lebih dari 10 orang, itu pun terasa sudah panas) rasanya merepresentasikan kondisi masyarakat saat ini; betapa kerja keras dan kerja cerdas belum menjadi etos sehari-hari. Contoh sangat gampang, pejabat atau pimpinan datang, sambutan atau pun olah seremonial yang terutama ditampilkan (organ tunggal, nyanyi-nyanyi, dan sejenisnya); dan ketika performance semacam itu ditegur pimpinan karena tidak berkenan berhubung bukan hal-hal semacam itu  yang akan dilihatnya; reaksi yang kemudian tertangkap serta dibesar-besarkan ialah: Pimpinan marah-marah.  Selayaknya, kerja keras/cerdas disertai penuh sensitivitas, yakni merasa  betapa hanya dengan kerja keras dan kerja cerdaslah permasalahan genting Covid 19 ini segera teratasi.

Sayangnya, kerja keras dan cerdas yang idealnya berpasangan dengan sensitivtas; namun karena kerja keras dan cerdas belum menjadi etos, pasangannya  justru dianggap sebagai lawan. Maka terjadilah kerja keras/cerdas berlawanan (versus) sensitivitas. Begitu seseorang menampakkan sangat sensitifnya (baca bermaknanya) pekerjaan itu, justru sering muncul komentar: "Sensi amat pimpinanku ini?"   Lalu, seolah-olah ada anggapan, begitu seseorang (pimpinan) menunjukkan sikap sensitifnya, begitu anakbuah menangkapnya sebagai marah; dan kalau pun hanya satu dua kali bersikap  begitu, yang tersiar nyaring kemana-mana: "Ohhhh, beliau sih memang tukang marah."

Di antara ungkapan menarik diskusi dua kubu kemarin,  terlontar untaian uraian tentang makna/ungkapan denotatif dan konotatif, semisal:: Jika seorang bapak karena wis judheg lalu berkata  kepada anaknya: "Kukirim kamu ke Yogya, ke tempat nenek, dan biar kamu sekolah di sana dalam pengawasan nenek." Apakah orang-orang Yogya akan tersinggung dengan ungkapan semacam itu. Apakah itu berarti Yogya menjadi "tempat menghukum" bagi anak- anak yang bandel sekolahnya?

Itulah salahsatu bahayanya ketika etos kerja sengaja dipisahkan dari rasa dan sensitivitas, padahal seharusnya semakin saling melengkapi. Ungkapan "Hatimu di pekerjaanmu"  atau sebaliknya "Pekerjaanmu di hatimu"  seharusnya memang menjadi gerakan moral terutama bagi ASN di mana pun.  Analoginya gampang kok, yakni kalau memang "Keluargamu itu hatimu" dan "Hatimu itu keluargamu,"  ya sudah jelaslah betapa keluarga itu segala-galanya dan segala-galanya untuk keluarga.  Inilah makna terdalam kerja keras dan cerdas penuh sensitifitas, utamanya di masa genting Covid 19 saat ini. Karena itu, mari bersikap manusiawi sajalah merespons hal-hal yang terkait dengan tuntutan kerja keras /cerdas penuh sensitifitas ini,  karena memang siapa pun tidak mungkin bisa menjadi manusia setengah dewa..

-0-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun