Bernalar Kritis  Vs Pola Asuh Berdamai  (2)
JC Tukiman Taruna
Â
Pola Asuh Berdamai
Dominasi guru dan orangtua terhadap siswa/anaknya di masa pandemi ini, idealnya bergeser ke kompromi; dan apabila kompromi semakin berkembang dalam diri guru dan orangtua, maka sikap berdamailah yang akan menjadi model pola asuh baru.Â
Mengapa kompromi dapat menghasilkan pola asuh berdamai? Ketika guru dan/atau orangtua sangat dominan, siswa/anak berada di bawah bayang-bayang "kekuasaan" guru dan orangtua.
Bila dominasi semacam itu tidak segera diakhiri dengan cara mengembangkan sikap kompromi oleh guru dan orangtua, anak-anak akan  kehilangan secara permanen sekurangnya tiga hal utama, yaitu kreativitas, rasa percaya diri, dan sikap jujur karena sering harus berbohong (Leila Ch Budiman. 2000).
Oleh karena itu, wahai para guru dan orangtua, segeralah ambil sikap kompromi terhadap kondisi apa saja agar Anda semakin belajar menerapkan pola asuh berdamai (berdamai dengan anak, dengan keadaan, dan dengan hasilnya)
Leila Budiman menjelaskan bahwa satu-satunya cara meningkatkan kreativitas anak ialah memberikan kesempatan untuk berkreasi (hal. 22) antara lain dengan diberikan peralatan, cara, dan waktu serta wahana yang mempunyai banyak kemungkinan untuk dikembangkan sendiri oleh anak.Â
Jika hal itu dikembangkan oleh orangtua, berarti kepada anak-anak diberikan lahan subur untuk menumbuhkan daya pikir, kreativitas, dan gairah belajar di rumah.Â
Mengapa anak mudah terjangkit rasa kurang PD (percaya diri)? Sikap "dominance" guru dan orangtua itu  ibaratnya "memasung anak" (hal 54), karena guru atau orangtua mengambil-alih kemampuan atau potensi yang dimiliki anak dengan cara membiarkan anak tidak berbuat apa pun karena segala sesuatunya di-suplai semata oleh guru atau orangtua. Akibatnya, dalam diri anak tidak ada rasa percaya diri bahwa dia mampu untuk melakukan banyak hal.Â
Sementara itu, belajar berbohong (bukannya belajar kejujuran) tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi tumbuh sedikit demi sedikit lewat berkembangnya rasa percaya diri.Â
Mari kita sadari, betapa keluarga punya andil besar dalam menumbuhkan kebohongan pada anak (hal 118), seperti contohnya, dusta kecil-kecilan yang dianggap tidak serius oleh orang dewasa.Â
Misalnya anak mendengar ungkapan: "Ibu tidak punya uang," padahal kata-kata itu hanya untuk menolak permintaan anak membeli jajanan, terekam oleh anak betapa ibu telah mengajarkan kebohongan ketika lima menit kemudian ibu itu membeli sesuatu di warung sebelah.Â
Setelah anak beranjak remaja, pelajaran berbohong pasti didapat dari teman-teman sebayanya. Pada umumnya, berbohong cenderung dilakukan anak-anak pada saat mereka  itu "mencari aman." Kalau jawaban "tidak!" membuat aman bagi anak,  maka lain kali anak akan mencari-cari terus jawaban "aman" atas pertanyaan orangtua.
Pola asuh berdamai hanya bisa tumbuh jika guru dan/atau orangtua yang memulainya, karena hampir mustahil dilakukan atau dimulai oleh siswa/anak mengingat mereka itu "korban." Jadi, pemecahan dilema semata-mata hanya ada pada guru dan orangtua.
-0-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H