Fase "Ngumbar Hawa"
Tukiman Tarunasayoga
Saat ini, -terutama dalam momentum satu tahun pemerintahan Bapak Presiden Joko Widodo dan Bapak Wakil Presiden Makruf Amin, diawali tentu saja oleh fluktuatifnya permasalahan Covid 19 dan rentetan peristiwa (monumental) pengesahan UU Ciptaker berikut pro-kontra atasnya- , tibalah kita pada fase ngumbar hawa.Â
Seolah-olah tidak ada pihak yang perlu ditakuti lagi, atau tidak memedulikan lagi tatakrama berkehidupan bersama, hukum pun mungkin agak diabaikan; rasanya sejumlah orang, karena saking jengkel-e, atau karena sudah kehilangan kesabarannya (semoga tidak kesadarannya) sampai pada yang disebut nguja hawa nepsune. Itulah arti ngumbar hawa, yaitu orang meluapkan dan melampiaskan entah kejengkelannya atau ketidaksabarannya secara "berbuat semau gue."
Berapa saja saat ini jumlah orang yang sampai ke fase  nguja hawa nepsune? Mungkin semakin banyak, terbukti secara terbuka ada yang mencibiri pejabat, tidak kurang pula ahli hukum yang tertawa sinis, komentar sinis atas produk hukum suatu lembaga; ada juga yang bahkan sangat kasar  memaki atau entah luapan apa lagi lainnya.Â
Intinya, sekali lagi, karena saking jengkel-e dan karena telah hilang kesabarannya, hawa nafsulah yang diluapkannya. Dan semua orang tahu, hawa nafsu itu fasenya banyak, ada marah-marah, ada maki-maki, ada sinis-sindir, ada seribu satu lagi luapan dan ungkapan lainnya.
Di mata orang yang sedang terjangkit ngumbar hawa, apa saja dan siapa saja pasti dipandang serba salah; lebih-lebih dia atau mereka yang sedang memegang tampuk kepemimpinan. Berkeputusan dipandang salah, tidak mengambil langkah-langkah kebijaksanaan lebih salah lagi; mengatakan "A" terhadap sesuatu, dicibir; namun diam saja, diolok-olok, diledek-ledek dengan kata-kata: pejabat kok cemen?Â
Tegasnya, fase ngumbar hawa, dalam siklus alamiah kehidupan, adalah fase serba uring-uringan, sarwa ora kebeneran, fase ketika kondisi apa pun sedang dalam ketidaknyamanan. Tegur sapa yang semula baik-baik saja, terasa hambar; komunikasi yang semula telah berjalan lancar, bisa saja tiba-tiba "putus."
Tentu pertanyaan paling mendasar pada saat fase ngumbar hawa marak semacam ini, ialah: Bagaimana (menemukan) Â jalan keluarnya? Ada tiga pilihan sebagai tawaran jalan keluar dari kondisi maraknya ngumbar hawa saat ini; pertama, mlaku terus, aja mandhek tumoleh. Maksudnya, para pejabat pemangku pemerintah dan pemerintahan di aras mana pun hendaklah jalan terus sesuai amanat dan aturannya, dan tidak perlu menoleh kanan, menoleh kiri apalagi terpengaruh.Â
Dengan ungkapan lain sering kita dengar, biarkanlah ada gonggongan, silahkan tetap jalan terus. Menopang tawaran pertama di atas, ada tawaran kedua, yakni  "yen wani aja wedi-wedi; yen wedi, aja wani-wani." Tegasnya, kalau memang mau maju, majulah tanpa ragu-ragu; tetapi kalau memang gamang, janganlah mencoba (sok berani) maju atau sok jagoan. Kata lainnya ialah yakinlah dan yakinkanlah dirimu berani/bisa.
Dan ketiga, inilah pengukur paling sahih bagi kepemimpinan seseorang, yakni  "kudu wani getih," yakni kerahkan segala kemampuan indrawi dan non indrawi, lahir maupun batin, segala modal spiritual-rohani dan material-jasmani, dan bernaung dalam kuasa  Tuhan, mantaplah!  Â
Kapan kondisi ngumbar hawa berakhir? Tentu akan ada berakhirnya, bahkan kadang-kadang akan berakhir secara alamiah belaka. Bahasa sederhananya mengatakan: Biarkan saja, rak leren karepe dhewe; akan surut dengan sendirinya. Banjir kaleeee??Â
Di samping itu, ngumbar hawa juga akan (cepat??) menghilang manakala amunisi mereka habis. Bagaikan banjir, pasti akan segera berkurang bahkan berakhir manakala curah hujan berhenti. Analogi sederhananya, mereka yang sedang terjangkit ngumbar hawa sangatlah tidak mustahil (di zaman kini, atuh) memiliki sumber --sumber mata air finansialnya yang pasti akan menipis, lalu habis. Pada saat sumber mata airnya habis itulah saat ngumbar hawa berakhir juga, pasti.
Segampang dan sesederhana itukah permasalahan ngumbar hawa itu? Jawabannya "iya" manakala  pemicu permasalahan atau sumber yang dipermasalahkan memang hanya berkisar pada iri hati, sakit hati, jaga gengsi diri, menutupi aib dan/atau asset keluarga, dan sekitar itu. Namun, apabila pemicunya memang berkaitan dengan hal yang sangat substansial dalam konteks berbangsa dan bernegara, ngumbar hawa harus betul direspons secara bijaksana, dewasa, hati-hati dan penuh pertimbangan konstitusional.
-0-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H