Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Alamak, Banyak Orang "Wuru Getih"

25 September 2020   09:06 Diperbarui: 25 September 2020   09:31 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Alamak.........Banyak Orang "Wuru Getih"

Oleh Tukiman Tarunasayoga

Di samping karikatur, dewasa ini Meme dapat menjadi kanal pembedah kejenuhan lewat untaian kata-kata singkat namun mampu mengangkat jidat berlipat-lipat seraya tertawa berjingkat-jingkat. Nikmati saja Meme seperti berikut yang berseliweran di medsos:

Di sebuah antrean di bank, seorang emak-emak kentut berbau dan bersuara:

Emak-emak     : Bapak dengar?

Bapak 1           . Dengar dan membau

Emak-emak     : Jaga jarak ya, dan ganti masker, bocor tuh.

Ibu-Ibu             : Saya tidak dengar tapi membau

Emak-emak     : Ohhh, ibu OTG tuh.

Bapak 2           : Saya tidak dengar dan tidak membau

Emak-emak     : Bapak PKI ya?

Badu               : Bapakmu dulu PKI  kan?

                        Dudung           : Kok tahu?

                        Badu               : Aku kan mantan panglima

Di pusara orangtuanya, seorang anak mengadu

Anak   : Pak, harta peninggalan bapak diobrak-abrik orang

Bapak  : Bilang saja Nak, orang itu PKI.

Anak    : Kok begitu pak?

Bapak   : Itu kan senjataku

Tertawalah jika membaca narasi model Meme seperti di atas, dan memang mumpung saat ini masih bisa tertawa, sebab ada kemungkinan orang-orang yang wuru getih, bisa saja kelak akan menuduh Anda PKI karena tertawa-tawa. Sedang ada gejala, bahkan trend, kosakata atau tepatnya singkatan "PKI" sedang dipakai sebagai "senjata" untuk berkomunikasi dengan siapa pun dan kapan pun.  

Gaya komunikasi seperti itu, apakah identik orang itu sedang "menuduh" atau "memberi peringatan"  ataukah "menggigau," entahlah; namun yang tertangkap lewat kacamata kulturalku, orang-orang itu sedang wuru getih.

Mengapa dan apa yang terjadi sehingga orang mengalami wuru getih? Secara kultural, siapa pun orang itu, lebih-lebih mereka yang merasa pernah sebagai pejabat (penting), pada puncak rasa kecewanya akan bergumam: "Sapa sira, sapa ingsun." 

Para pakar psikologi akan menyebut orang semacam itu mengalami syndrome, tetapi kajian kultural mencoba melihat lebih ke dalam lagi; sebab dalam bergumam "sapa sira sapa ingsun" itu, orang itu sertamerta melayang-layang pikirannya. Kemana arah melayang-layangnya itu? Pasti ke masa lalunya, artinya pikiran dan kemungkinan berikutnya ialah skenario untuk membuktikan dirinya sebagai orang yang masih potensial-energik (bagi dia yang merasa dirinya  dianggap loyo, misalnya lalu nikah lagi), atau masih bernyali memimpin (bagi dia yang merasa dianggap sudah masuk kotak), atau masih mampu menggebrak (bagi dia yang merasakan dirinya sudah tidak punya apa-apa lagi).

Terlalu "nemen" (serius-mendalam) melayang-layang berfikir tentang masa lalunya dan merasa masih bisa berbuat banyak ke depan, menggerakkan gumaman "sapa sira sapa ingsun" nya dengan kata-kata indah menghiburnya, seperti (a) ah, dia itu dulu kan staf saya, anak buah, (b) dia itu dulu murid saya, dan sayalah yang membekali mental juara, (c) saya pegang kartu As dia kok, (d) jangan salah, sayalah yang meletakkan pondasi perubahan sehingga kondisi sekarang maju  seperti ini, atau (e) yang dulu saya bangun dengan darah dan keringat, kenapa sekarang dicabik-cabik seperti ini?

Itulah bukti-bukti orang wuru getih, yakni orang mendhem (bahasa gaulnya fly) yang bila semakin nemen akan menjadikan orang itu "ngamuk ora eling apa-apa." 

Orang yang sedang wuru getih, sedang mendem, yang paling diingat hanya dirinya sendiri, jasa-jasa dirinya (paling tidak merasa berjasa), atau layangan-layangan pikiran dirinya. Ia lupa sejarah masa lalunya seperti apa, ia lupa pula posisinya sekarang ini (sudah) seperti apa. Kalau Tony sedang mendem cintrong kepada Tiny, tahi kucing serasa jenang dodol.   

Apakah orang yang sedang wuru getih berada dalam kondisi 100 persen sadar diri? Nah, inilah yang sangat sulit dijawab. Jika wuru getihnya itu benar-benar mendem karena minum-minum seperti arak dan lain-lain; sangat boleh jadi wuru getihnya itu untuk pelampiasan kejengkelan, kesepian, frustrasi atau ungkapan lebih pasnya rasa putek-nya. 

Prosesnya orang itu sadar sedang putek, lalu minum-minum untuk menghilangkan puteknya, dan lalu mabuk ikutannya sertamerta omong sendiri, teriak-teriak, dan lain sebagainya. Bagaimana orang yang sedang wuru getih tetapi bukan karena minum-minum? Kita tunggu saja perkembangannya, siapa tahu sadar diri 100 persen, lalu mengubah kata-kata "sapa sira sapa ingsun," menjadi "sapa ta aku iki, saiki iki?"Hanya debulah kita, saudara-saudara, eling-eling..........

-0-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun