Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mencela, Ternyata "Mada Kawongan"

20 Agustus 2020   06:31 Diperbarui: 20 Agustus 2020   06:20 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencela, Ternyata "Mada Kawongan"

Oleh: Tukiman Tarunasayoga

Beberapa tahun lalu, ketika bangunan tempat belanja modern seperti mal, mini market dan sejenisnya bermunculan; timbul kekhawatiran serius betapa segera akan matinya pasar tradisional. 

Terbukti memang, beberapa saat pasar tradisional sepi pembeli, namun sebutlah hanya seumur jagung saja, karena sesudah "godaan itu lewat," pasar tradisional ramai pembeli lagi. Ramai kembalinya pasar tradisional juga karena ada kebijakan baik dari Pemerintah maupun Pemda membangun fisik pasar menjadi lebih bersih, tertata, dan menarik.

Ternyata, mal, pasar swalayan, mini market terang benderang dengan puluhan lampu itu terbukti sebagai "penggoda sejenak saja," dan setelah lewat, pasar tradisional tetap kembali eksis dan akan terus eksis sampai kapan pun. 

Mengapa? Jawabannya ialah, siapa pun tidak rela dan tidak mau kehilangan nilai-nilai sosial pasar, seperti tegur sapa, tawar-menawar harga, bercengkerama, harga "miring" dan lain sebagainya. Intinya, pasar tradisional adalah "medan bersosialisasi" secara langsung, mudah, murah, egaliter, sangat ramah, dan jangan lupa singkat padat bermakna.

Tawar-menawar  

Satu aspek bernilai sangat berarti, mendalam, dan dirindukan  dari pasar tradisional ialah adanya transaksi dan tawar-menawar yang berlangsung secara terbuka, langsung, serta masif. 

Di pasar tradisional tidak ada kegiatan (apa pun) terbebas dari transaksi penuh tawar-menawar  dan siapa pun boleh tahu, mendengar, melihat, termasuk nimbrung pun boleh. 

Calon pembeli cabe rawit dapat secara bebas menawar harga tanpa "batas bawah," dan kalau tiba-tiba datang calon pembeli lain, ia dapat saja langsung menimpali seraya mencela kualitas cabe itu: "Cabemu kecil-kecil kok mahal, di sana tadi apik-apik murah." Mendengar celaan seperti itu, penjual dapat saja secara enteng menanggapi: "Nggih mpun ta, borong saja yang di sana."

Tawar-menawar di pasar tradisional pasti disertai mencela barang dagangan oleh calon pembeli; mana mencela "Salak kok cilik-cilik kaya rambutan,"  bahkan tidak jarang celaannya kebangeten sampai-sampai membawa-bawa atau menyebut sekecil ingus (maaf upil), atau "barangmu kok elek-elek ta, Yu." 

Di pasar tradisional, menawar harga (seraya nacad yaitu mencela barang) membawa serta kenikmatan dan kepuasan tersendiri, dan itu tidak dapat terjadi di pasar modern seperti mal, mini market, dll. 

Apalah artinya hidup ini jika tanpa kenikmatan dan kepuasan?  Itulah tawar-menawar, saat pembeli menemukan kepuasan dan kenikmatan secara mudah, murah, dan singkat.

Mada kawongan

Menawar disertai mencela (barang dagangan), mengapa sangat sering terjadi, bahkan menjadi hobi?  Di samping mengasyikkan seperti dikatakan di atas, menawar-mencela dimaksudkan oleh calon pembeli untuk "menurunkan mental" penjual agar mau menurunkan harga. 

Kederkah si penjual dengar tawaran dan celaan seperti itu? Pedagang sudah sangat teruji dari menit ke menit lainnya oleh celoteh calon pembeli. Malahan, pedagang sangat tahu orang ini serius mau beli beneran, ataukah sekedar bertanya, menawar dan mencela. 

Karena penjual itu sudah pintar "menebak" serius tidaknya calon pembeli, cara dia merespon tawaran dan celaan pun bervariasi: Ada yang ditanggapi santai penuh canda, ada yang didiamkan saja, tetapi kalau perlu ia akan  "mendamprat" penawar-pencela itu secara sinis, "Ora gableg dhuwit, gaya," misalnya.

Dari pasar tradisional, mari kita bawa analoginya ke kancak perpolitikan modern yang ternyata, -meski berlabel modern-  para pelakunya ada yang tidak jauh dari calon pembeli yang suka menawar dan mencela tadi. Maksudnya, perwajahannya (lay out) mungkin tampak modern, namun cara atau strateginya ternyata tradisional, semisal mada kawongan., 

Mada kawongan ialah nacad nanging sejatine (isih) dhemen, persis seperti calon pembeli yang mencela salak hanya sebesar rambutan tadi: Sejainya ia senang dan mau membeli salak itu, dan bahwa ia mencela, itu sekedar cara agar penjual menurunkan harganya. 

Adakah di dunia perpolitikan modern kita saat ini orang-orang yang menempuh strategi mada kawongan?,  Jawabannya, justru saat-saat inilah fenomena mada kawongan itu sedang menggejala marak. 

Ada saja orang mencela (nacad) kondisi saat ini, entah kondisi perekonomian, pemerintahan, perpolitikan, pendidikan, dan lain sebagainya, namun kalau cara komentar dan nacadnya itu ditanyakan ke pedagang pasar tradisional, pedagangan itu pasti akan enteng menjawab: "mada kawongan mawon niku." Terjemahan bebasnya, "ah masih kepingin dia, masih dhemen aja."

Saking getolnya mencela kondisi perekonomian saat ini misalnya, ada orang yang ketrucut ngomong: "Coba saya yang pegang, dua tahun beres!" Ada juga yang sudah bisa ditebak (lagi-lagi oleh pedagang pasar tradisional) arah celaannya ketika berorasi penuh mada kawongan, ehhh ujung-ujungnya: "Aku masih seperti yang dulu (penginnya)."

Sentilan dan ajaran moralitasnya ialah, warga masyarakat seperti contohnya para bakul pasar tradisional pun sudah tahu persis peranagi para calon pembeli ketika menawar dan mencela. Mereka tahu persis siapa-siapa yang serius mau membeli, siapa pula yang jebule mada kawongan. 

Bacalah mada seperti Anda mengucapkan Kendalisodo, atau Diponegoro, dan mada ini berarti mencela, nacad; sedang kawongan artinya ketahuan, konangan, atau kamanungsan.  Mengapa mudah ketahuan? Masyarakat itu tidak tidur!

-0-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun