Profesionalitas vs Kaduk Ati Bela TampaÂ
Oleh Tukiman Tarunasayoga
Â
Sangatlah mengagetkan, -bahkan mengawatirkan- , berita mundurnya PBNU dan PP Muhammadiyah dari kancah POP Kemendikbud, mengingat keduanya, sesuai catatan sejarah berbangsa dan bernegara, merupakan organisasi penggerak handal di negeri ini. Terlepas dari alasan politik (kalau ada!!), saya langsung bertanya-tanya ke sumber persoalan atas mundurnya NU dan Muhammadiyah dari POP, Â yakni profesionalitas kelembagaan: Siapakah yang kurang profesional dalam hal ini? Â Mungkinkah "panitia seleksi" Kemendikbud kurang (tidak?) profesional, ataukah jangan-jangan di pihak NU dan Muhammadiyah yang kurang cermat, sampai-sampai misalnya dianggap kurang memenuhi persyaratan?
Jawaban atas pertanyaan di atas secara "profesional," --menurut pendapat saya- , sebenarnya dapatlah  diselesaikan sendiri oleh masing-masing pihak, yakni pihak Kemendikbud merunut ulang ke belakang dan mencari titik lemah ketidakprofesionalitasnya; demikian juga pihak NU dan Muhammadiyah menyermati ulang adakah persyaratan yang "secara profesional" kurang terpenuhi.Â
Setelah tahapan refleksi-diri ini terjadi di masing-masing pihak, silahkanlah bertemu, diskusi, dan saling menyempurnakan secara profesional. Pihak Kemendikbudlah yang harus mengundang dan menyelenggarakan "pertemuan tingkat tinggi" ini.
Kaduk ati
Sesederhana itukah persoalan dan penyelesaiannya? Lagi-lagi menurut pendapat saya, ditinjau atau dibobot dari pendekatan profesionalitas, persoalan dan penyelesaiannya rasanya sesederhana itu saja. Siapa sih pihak yang paling  sempurna dalam eksekusi pekerjaannya? Layakkah Kemendikbud bertepuk dada menyatakan "tidak ada kelemahan sedikit pun dari pihak kami;" demikian juga misalnya pihak NU dan Muhammadiyah menyatakan hal yang sama?Â
Atas nama profesionalitas, mengakui ada kelemahan atau kesalahan justru menunjukkan kualitas profesionalnya; tetapi sebaliknya tidak/kurang berkualitaslah kalau misalnya jewawa menyatakan tidak ada kekeliruan apa pun di pihak kami.
Di balik semua jalan pikiran sederhana di atas, saya melihat ada aspek kultural sangat mengganjal terutama di pihak NU dan Muhammadiyah, yakni seperti ditorehkan dalam peribahasa Jawa ini: Kaduk ati bela tampa. Dalam bahasa Jawa, kata kaduk itu berarti kakehan utawa luwih (kelebihan), atau kebangeten, dalam nuansa atau konotasi negatif seperti misalnya kaduk wani. yaitu bersikap terlalu kurang sopan, terlalu berani, kurang tatakrama.
Peribahasa kaduk ati bela tampa menggambarkan betapa telah terjadi kliru tampa lan gawe serik, dan dalam konteks mundurnya NU dan Muhammadiyah dari POP ini, dapat diduga bahwa ada pihak-pihak  yang berselisih paham dan menjadikan "sakitnya tuh di sini," tersinggung. Siapa pun orangnya dan apa pun posisinya, jika hatinya sudah tersinggung (serik), obatnya sampai sekarang belum ditemukan.