Penghasil ikan terbanyak di dunia dekade 70an adalah Bagansiapiapi. Waktu itu, masih bagian dari kabupaten Bengkalis, Riau. Trawl alias ‘pukat harimau’ masih beroperasi dengan aman, kemudian dilarang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1980 tentangLaranganPengoperasianPukat Harimau. Saat berjaya, ikannya dijual hingga Australia.Dan sejak itu, banyak warga Bagansiapiapi yang mengungsi ke daerah lain, karena berkurangnya penghasilan mereka.
Mereka pun lantas banyak beralih profesi sebagaipengusaha terasi, dan ikan kering. Atau membuat kapal kayu, di bangleo sepanjang sungai Rokan. Itu pun banyak yang tumbang berjatuhan diawal 80-an, karena pemerintah mulai menangkapi pemalak kayu liar. Masih di tahun itu, pompon atau kapal kecil berukuran 5 ton, mereka manfaatkan untuk membawa barang elektronik seludupan dari Malaysia. Bagi yang ‘nekat pisan’ menyeludupkan tenaga kerja gelap Indonesia ke Malaysia. Para TKI itu, didaratkan di pulau Ketam, Malaysia Barat yang jaraknya 3 jam perjalanan laut dari Bagansiapiapi. Tiket gelapnya saat itu Rp 100 ribu per orang. Dari pulau Ketam, baru mereka naik ferry ke fort Klang. Kegiatan itu lantas dimurka dengan operasi khusus dari pemerintah pusat.
Saat itu Bagansiapiapi adalah daerah terpencil. Cuma ada dua mobil disana, milik Bank BNI 1946, danmobil operasional camat Bangko. Jalanan dibuat dari bahan kerang, semen dan batu koral, dan ukurannya paling lebar 3 meter.
Pusat ekonomi berada di pajak (sebutan pasar bagi warga setempat) di jalan Perniagaan. Disana terdapat banyak perkantoran keagenan laut dan pembuatan kapal. Untuk hiburan ada bioskop Jalajaya milik Primkopal, dan bioskop Ria dekat Klenteng Utama.
1985, saya masih mengenang itu, saat bertugas sebagai wartawan majalah Detektif & Romantika (DR). Untuk mencapai Bagansiapiapi saya menaiki kapal penumpang dari pelabuhan Dumai selama 12 jam perjalanan. Kapal itu hanya tersedia seminggu dua kali. Sehingga jika kita dari daerah lain, harus menginap dulu di hotel. Kapalnya bermuatan penumpang dan sayur. Saya pernah juga menaiki kapal dari pelabuhan Teluk Nibung, Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara dengan perjalanan 14 jam ke Bagansiapiapi.
Saat itu pemberitaan media sedang ramai tentang penyeludupan orang, smokel, dan heroin. Redaksi DR berulang kali untuk mengutus saya kesana. Tercatat nama penyeludup besar seperti Ang chiam di pulau Halang, Okade alias DarliasTresia Hartono, alias Sia Cing Lai di Bagansiapiapi, dan sebagainya. Para almarhum penyeludup itu, dikenal bertangan besi, dan dibekingi para oknum. Jarang ada wartawan yang berani datang kesana untuk menulis beritanya, karena sudah pasti ‘hilang lelap’atau di ‘bogem’ para tukang pukul mereka. Dan setiap liputan kesana, saya tidak berani bawa kartu pers, dan kamera pun disembunyikan dalam jaket saat meliput aksi mereka. Sungguh berdebar juga jantung dibuatnya. Apa yang diseludupkan mereka? Terutama adalah Sembako dari
Saya menginap di hotel Lion, yang dikatakan termewah di Bagansiapiapi. Hotel ini berlantai 5, dengan tariftermurah Rp 350 ribu per malam. Namun setelah masuk dan menginap, anda akan menemukan suasana penginapan didalamnya. Air terbatas, minuman Cuma air mineral sedang dua botol. Ukuran kamar 3 x 3 meter, dan TV besar yang mempersempit ruangan. Tidak ada jendela terbuka untuk mengintip bagaimana indahnya kota itu. Saat saya bertanya kepada resepsionis untuk akses hospot internet, dia malah bilang ‘’ ke warnet saja, di depan ada’’. Dan saat malam tiba, sesekali terdengar rintih nakal suara wanita dari kamar sebelah.
Di jalanan, mobil berbagai merek berkeliaran dan semakin nakal karena tidak terlihat ada lampu pengatur lalin di kota ini. Gedung permanen berdiri disana-sini. Tidak ada lagi bioskop jalajaya dan Ria. Dan pelabuhan nelayan itu hanya ramai pagi hari, saat nelayan pulang melaut.
Kini Bagansiapiapi telah menjadi ibukota dari kabupaten Rokan Hilir. Pada bekas kantor Camat Bangko dulu, berdiri kantor DPRD, dan disampingnya adalah kantor bupati yang membawahi 13 kecamatan.
Kota kecil ini bertambah bising, dengan suara panggilan walet. Hampir setiap mata memandang adalah sarang wallet. Kelihatannya ini menjadi lahan bisnis baru bagi warga, sejak laut bukan lagi sebagai sumber kehidupan. WNI keturunan yang menjadi mayoritas warga, kini yang tinggal cuma generasi tua. Kebanyakan sudah hengkang mencari kehidupan di kota lain, dan baru pulang setahun sekali saat digelar pesta ‘bakar tongkang’ atau hari raya Imlek.
Air bersih masih menjadi masalah utama Bagansiapiapi. Padahal jika dikelola dengan baik, di daerah tanah Putih terdapat sumber air yang bisa menyuplai kebutuhannya. Sanitasi dan pengaturan saluran air yang tidak baik pada perumahaan masih menampakan darah kumuh.
Supaya cepat ke Bagansiapiapi, dalam dua tahun ini sedang disiapkan lapangan terbang perintis. Jika ini sudah jadi, dari Pekanbaru ke Bagansiapiapi ditempuh kurang dari sejam perjalanan. Saya enam jam di kota ini, tidak banyak yang ditulis. Tetapi pandangan mata saya, kota ini semakin baik. Kita tunggu cerita lanjut daerah ini. Semoga rakyatnya tambah makmur, dan terus berinovasi dalam kegiatan ekonomi. (Budi Tan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H