Mohon tunggu...
Awaludin Aryanto
Awaludin Aryanto Mohon Tunggu... profesional -

Saya pengen jadi orang yang ide kreatifnya selalu keluar.... Facebook : Awaludin F Aryanto Twitter : @din1188

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UN: Unite the Nation, Menyatukan Bangsa

8 Mei 2013   07:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:55 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya saya cuek dengan isu ada/tidaknya Ujuan Nasional. Ada ya terserah, tidak ada ya masa bodoh. Kadang saya pikir memang harus ada UN, karena harus ada asesmen untuk mengetahui seberapa pencapaian siswa akan pelajarannya. Bahkan dalam hidup ada istilah ujian kehidupan, jadi memang untuk melewati suatu tahap tertentu. Harus ada Ujian. Namun saya pikir benar juga kata banyak pengamat, kurang adil bila 3 (atau 6) tahun belajar hanya ditentukan oleh 2 jam atau 40-50 soal atau 3-4 pelajaran. Hari ini (7/5) murid-murid saya akan melaksanakan hari terakhir ujian  mereka. 13 anak gunung yang harus turun ke jalan poros untuk melewati satu tahap kehidupannya. Kami (guru-guru) sudah sangat yakin mereka bisa melewatinya. Pokoknya lewat lah itu ujian. Lulus atau tidak, 90% adalah faktor keberuntungan. Saya katakan begitu karena memang harus diakui kemampuan murid-murid kami belum dalam kapasitasnya untuk mengerjakan Ujian berstandar Nasional (atau Jakarta tepatnya). Saya yakin hampir semua murid mengerjakan soal ujuan dengan cara “menembak” jawaban. Meng-underestimate murid? Boleh saja dibilang begitu. Tapi cobalah datang ke sekolah kami, mengajar beberapa bulan, lakukan riset simpel dan hasilnya pasti akan sama dengan kesimpulan yang saya tuliskan tadi. Pertama, kemampuan kebahasaan. Murid-murid kami mengerti bahasa Indonesia percakapan –yang sederhana-, bisa MEMBACA sebuah tulisan berbahasa Indonesia, namun mereka tidak mampu MENANGKAP MAKNA dari rangkaian kata-kata berbahasa Indonesia tersebut. Soal UN B. Indonesia yang panjang, soal cerita matematika, soal cerita IPA/S. Jadi, tanpa bisa memahami maksudnya, mana bisa mencari jawaban yang benar. Ya, murid-murid menjawab soal UN dengan cara spekulasi. Dua, soal-soal yang sangat Jakarta. Pertanyaan soal kereta api, halte bus, komputer, tablet yang entah sengaja atau tidak sering tercantum dalam soal UN. Hey, anak-anak disini bagaimana bisa membayangkan kereta api? Halte bus? Bandara? Atau Komputer dan tablet? Listrik saja belum ada. Bila 5 dari 50 soal bertipe seperti itu, 10% nilai murid-murid kami hilang karena satu kesalahan: tidak tinggal di Jakarta. Dan soal KTSP. Dengan KTSP kurikulum bisa disesuaikan dengan standar sekolah. Sederhananya, anak-anak diajarkan dengan konten-konten lokal namun sesuai dengan standar yang diitetapkan Kemendiknas. Dalam matematika misalnya, yang penting murid bisa perkalian entah mengalikan sapi, pohon kopi, rumah panggung, dll. Namun kalau pada soal UN yang muncul adalah perkalian kereta api, -plus dua faktor yang disebutkan sebelumnya- mana adil? Oke, kembali ke soal UN. Mungkin Kemendiknas punya pertimbangan tersendiri kenapa harus ada UN, memang sebuah pilihan sulit dan saya yakin Kemendiknas sudah siap dengan pro-kontra nya. Dengan keadaan masyarakat –termasuk wali murid dan guru- dengan kualitas dan integritas yang seperti sekarang, boleh jadi UN memang cara paling mudah pengawasannya dalam mengukur kelulusan. Itu saja masih ada beberapa oknum yang mencoba “bermain” dengan UN. Juga protes tentang biaya cetak, distribusi soal, dan lain lain yang menghabiskan dana besar. Boleh jadi dana besar itu opsi paling rendah dari bermacam skema penetapan kelulusan secara nasional. Dengan sistem UN yang sudah mapan saja masih repot, bagaimana mencoba membuat dan menerapkan sistem baru? Dan bila gagal, kambing hitamnya pasti Kemendiknas lagi, menteri disuruh mundur lagi, buat sistem baru lagi. Kapan masalah selesai? Saya pernah berfikir bagaimana bila UN tetap ada, namun kelulusan tiap sekolah diserahkan ke masing-masing sekolah. Namun sebelumnya Kemendiknas pusat memiliki data base terkait grading atau penggolongan tiap sekolah, sehingga semua murid tetap lulus namun kualitas lulusannya dikonversi dalam data grading nasional. Namun ya kembali ke urusan biaya. Untuk melakukan riset ke tiap sekolah sampai ujung Indonesia berapa biayanya? Dan dibutuhkan juga tim riset yang itegritasnya betul-betul mantap dan “anti godaan”.

UN, suka ataupun tidak itulah pilihannya sekarang. Ditengah tuntutan yang begitu tinggi kepada Kemendiknas untuk menyelesaikan masalah pendidikan negeri ini, dengan keterbatasan SDM, dana, dan teknologi yang dimiliki, wajar bila ada kekurangan disana-sini. Bila setuju UN, baiknya ikut memikirkan cara untuk mengakomodir sekolah-sekolah dengan keadaan seperti tempat kami mengajar. Bila tidak setuju UN, baiknya juga ikut mencari cara paling efisien untuk menetapkan kelulusan murid. UN bisa dijadikan sarana untuk Unite the Nation, menyatukan bangsa, bukan malah saling menjelekkan dan memecah belah sesama. Tidak ada yang bisa sempurna, namun semuanya bisa dibuat lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun