“Tingkat kehadiran Guru di daerah terpencil sangat rendah” “Guru daerah terpencil memang malas mengajar, mereka hanya menikmati gaji buta” “Bagaimana anak pedalaman bisa cerdas, Gurunya tidak pernah hadir” Dan begitu memang kenyataan yang saya lihat pada awal mulai mengajar di SDN Inpres 22 Rura. Kalimat-kalimat itu kuat memprovokasi. Marah. Jengah dan kesal melihat guru yang jarang hadir. Ingin rasanya berteriak dan menunjuk muka satu persatu Guru. “Bapak ini bertugas mencerdaskan anak-anak, kenapa begitu mudah melepas tanggung jawab? Menelantarkan anak-anak yang sudah bersemangat datang ke sekolah dan membiarkan mereka tetap dalam kebodohan?” “Mengapa Bapak jarang hadir ke sekolah? Mana tanggung jawab Bapak sebagai Guru” _____________________________ Namun kemarahan itu perlahan luntur ketika mulai mengenal guru-guru dengan lebih dekat. Tahu dimana rumahnya, kenal keluarganya, sudah lebih santai ketika berbicara, bukan hanya sekedar topik basa-basi untuk mengusir keheningan. Sudah pula berani untuk bermalam (bagi orang Mandar, bila seorang tamu bermalam berarti sudah dianggap masuk sebagai anggota keluarga). Seperti malam itu, saya menginap di rumah Pak Kepala Sekolah. Hadir juga menemani Pak Kaco, seorang Guru senior yang hampir pensiun, dan Pak Rasyid, ayah angkat kedua serta Guru di SD tempat saya mengajar. Dan entah darimana mulanya, obrolan kami sampai kepada bagaimana mereka mengawali karir sebagai Guru. Mulai dari masa pendidikan di SPG Polewali, cerita saat menjadi guru honorer, bagaimana bertemu istri, dan bagaimana masa-masa setelah diangkat menjadi PNS yang mengajar di daerah terpencil.
Para guru ini sudah merelakan sebagian hidupnya, kehilangan waktu berharga bersama keluarga tercinta untuk mengajar di daerah terpencil. Membiarkan masa muda dan kekuatan mereka tergerus oleh langkah-langkah kecil menembus hutan. Membagi sedikit ilmunya untuk sedikit menghilangkan “dahaga ilmu” masyarakat daerah terpencil. Dalam keterbatasan dan kesulitan yang seringkali tidak pernah terbayang sama sekali. Dua minggu mengajar dalam keadaan seperti ini saya yakin sudah cukup menghabiskan tenaga dan pikiran para guru. Dan sebagai manusia normal, mereka juga butuh keseimbangan dalam hidup. Mereka juga ingin menjalankan peran lain dalam kehidupan pribadi yang mereka miliki secara seimbang. Sebagai suami, sebagai ayah, sebagai anak, sebagai yang lain. Masihkah berfikir bahwa guru-guru ini pemalsa dan tidak bertanggung jawab? Mungkin memang masih banyak yang buta huruf di tempat mereka mengajar, namun bisa jadi ini sudah jauh lebih baik daripada keadaan disaat mereka belum hadir disana. Semua perlu proses. Memang, kian hari infrastruktur di desa menjadi semakin baik. Namun itu tidak membuat guru-guru baru tertarik mengabdi di pedalaman. Guru di pedalaman kian hari kian berkurang. Lagi-lagi masalah kesejahteraan yang menjadi alasan mengapa banyak yang memilih menjadi guru “Kota” daripada guru “Gunung”. Jadi tinggallah Pak Kasman, Pak Kaco, Pak Rasyid yang walaupun sudah semakin lemah masih merelakan dirinya untuk mengambil bagian dalam upaya nyata membuat anak-anak tetap memiliki harapan. Mereka terus bergerak walaupun dikepung oleh prasangka yang mendiskreditkan pengabdian yang sudah diperbuat. Label pemalas, pemakan gaji buta, guru yang enggan maju tak mampu lagi menghentikan langkah guru-guru hebat ini. Saya hanya bisa tertegun. Saya mengaku bahwa saya baru bisa “melihat”, bukan “memahami”, bahkan “memaknai” sesuatu. _________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H