As one of most favorite tourism destination, Bali nggak pernah kehabisan tempat dan atraksi untuk mengundang wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Dan saya adalah salah satu wisatawan yang selalu nggak bisa bilang “bosan” untuk pergi lagi dan lagi ke Bali. Bulan Maret kemarin, saya sengaja mengkhususkan diri untuk berkunjung kemari menikmati salah satu hari raya umat Hindu, Nyepi. Tentu saja, akan memberikan sebuah pengalaman yang berkesan apabila bisa melewatkan hari raya tersebut di tempat dimana mayoritas penduduknya beragama Hindu seperti Bali. Awalnya teman-teman saya sesama traveler mengingatkan saya, untuk apa saya kesana ketika banyak orang-orang sana yang berniat kabur sejenak selama Nyepi berlangsung. Ada beberapa yang kabur ke Lombok dan ada yang pulang ke Jawa. “Pas nyepi, nggak bisa ngapa-ngapain dan nggak bisa kemana-mana loh”, ujar mereka. Tapi ucapan itu justru malah membuat saya makin bersemangat untuk merasakan Nyepi di Bali. Saya ingin sekali merasakan sensasi sebuah pulau yang katanya akan lumpuh total seharian dan nggak ada aktifitas apapun yang diperbolehkan terlihat di luar rumah. Singkat cerita, saya sudah berada di atas sepeda hasil pinjaman teman saya, Edo, yang bekerja disini, dari Denpasar menuju Kuta. Saat itu adalah H-2 Nyepi, hari dimana biasanya umat Hindu terlebih dahulu menggelar upacara Melasti. Upacara Melasti adalah upacara penyerahan sesajian ke daerah perairan, baik danau, sungai, maupun laut. Dipercayai, sumber air tersebut adalah sumber air suci yang akan membersihkan diri manusia dan alam dari segala sesuatu yang buruk. Sayangnya saat itu saya hanya sempat melihat upacara yang diadakan di pura-pura Banjar (desa) untuk mendoakan sesajian yang akan dihanyutkan ke sungai ataupun Laut nanti. Teman saya memberitahukan bahwa Melasti sudah mulai ramai dilakukan kemarin sore (saya baru sampai Bali semalam). Tetapi melihat upacara-upacara yang berlangsung di Pura Banjar tersebut, sedikit timbul harapan saya, mungkin masih ada upacara Melasti lagi di spot yang berbeda.
Dan dugaan saya salah. Setelah kurang lebih menunggu sampai jam 4-an di tepi pantai Kuta, saya tidak juga menemukan ada serombongan warga yang berbondong-bondong membawa sesajian menuju pantai. Akhirnya dengan kecewa, saya pulang ke kosan Edo lagi untuk beristirahat–Kecapekan nyepeda dari Denpasar Barat ke Kuta
Bertepatan dengan selesainya pertunjukan, Edo dan Paola pun datang dan kami menghabiskan malam nggak hanya dengan fine dinner di Art Cafe (the place is so cozy, with acoustic performance and affordable price of meals and beverages), tapi juga berlanjut ke Legian yang memang terkenal akan night life-nya. Well, nggak terlalu penting sih, membahas secara detail apa aja yang kami lakukan di beberapa klub. Intinya, keywords malam itu adalah “music” and “cocktail”, alias PARTY TIME!! Keesokan harinya, saya terbangun lumayan sore, sekitar jam duaan (efek pulang subuh). Saya mencari makan siang sebentar di daerah sekitar kosan Edo. Di perjalanan, saya melihat sudah mulai berjajar Ogoh-Ogoh menjulang tinggi di tepi jalan. Ogoh-ogoh sendiri adalah patung-patung yang biasanya terbuat dari rangkaian kayu, rotan dan karton yang dicat warna-warni menyerupai karakter-karakter tertentu menurut kepercayaan umat Hindu (biasanya dewa-dewa). Ogoh-ogoh nantinya akan diarak ke pusat keramaian di banjar masing-masing (Yang saya baca, biasanya pawai ogoh-ogoh yang paling ramai berada di lapangan Puputan atau di Kuta) . Adapun arak-arakan Ogoh-Ogoh ini dimaksudkan untuk penyucian banjar masing-masing karena dipercaya bahwa Ogoh-Ogoh ini dapat mengusir segala bentuk kejahatan. Usai makan siang, saya kembali ke kosan teman saya dan beristirahat sebentar sampai teman saya kembali dari kantornya. Kebetulan pawai ini biasanya dimulai pada malam hari, saya memiliki cukup waktu untuk beristirahat. Pada kesempatan liburan ke Bali ini memang sengaja saya nggak terlalu banyak mengunjungi daerah-daerah wisata, berhubung Januari dan Juni tahun lalu saya bersama teman-teman sudah mengunjungi tempat-tempat tersebut.Dan bulan Juni nanti pun saya masih harus menemani keluarga saya yang juga ingin berlibur ke Bali. Jadi kali ini saya hanya nongkrong-nongkrong di tempat wisata yang gratis dan terjangkau sepeda aja (Daerah sekitar Kuta dan Seminyak). Menjelang maghrib, Edo pulang. Setelah menunggu ia bersih-bersih dan beristirahat sebentar, kami berangkat ke Seminyak untuk menjemput Paola dan teman lain lagi yang juga bekerja disini (Memang enak kalo liburan ke tempat yang banyak kenalannya, kemana-mana jadi ramai). Bersama-sama, kami konvoi naik motor ke Kuta untuk menonton pawai Ogoh-Ogoh. Sesampainya di Kuta, beberapa jalan sudah mulai ditutup untuk pertunjukan pawai. Kami parkir di sebuah lapangan di perempatan jalan dan lanjut berjalan kaki ke tempat pawai diadakan. Kerumunan orang sudah mulai ramai dan ternyata sudah ada beberapa Ogoh-Ogoh yang unjuk kebolehan. Kami berdesak-desakan berusaha mencapai posisi paling depan untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. Pada pawai Ogoh-Ogoh, biasanya setiap banjar menyediakan satu atau lebih Ogoh-Ogoh. Teruna-teruna nggak hanya catwalk sepanjang jalan memikul bambu-bambu yang menyangga Ogoh-Ogoh, tetapi mereka juga mempertunjukan tarian-tarian dan narasi teatrikal pendek seputar latar belakang kisah Ogoh-Ogoh yang dibuatnya. Hal inilah yang menjadi daya tarik pertunjukan tersebut.