Secangkir cappuccino yang saya minum mengingatkan saya pada seorang mantan yang kemanapun perginya, minumnya cappuccino. Dia bilang, di Itali sana, cappucinno adalah kopi yang banyak dipesan di pagi hari. Pertemuan kami yang pertama kali, waktu masih pedekate, dia juga memesan cappucinno, dan obrolan berlanjut dari hobi sampai cita-cita, dari racau risau ke penanggulangan rasa galau dan lain sebagainya.
Berbeda dengan sahabat saya yang seorang bule, hubungan kami sangat unik sebenarnya. Dia laki-laki berusia pertengahan 40, tidak menikah, dan seorang traveler, tapi pola pikir dan gaya hidupnya lebih muda dari saya. Kalau bicara soal cappucinno sama dia, dia selalu mengibaratkan cappucinno itu seperti saya. "Siapa yang gak suka cappucinno? Enggak hitam, enggak putih, gak terlalu coklat gak terlalu pucat. Creamy and caffeinated enough, its perfect! Like you!", katanya bikin saya tersipu bukan sedikit malu, tapi malu banget.
Hubungan kami memang sangat unik. Misi sahabat saya yang satu ini adalah mencari barang antique Indonesia untuk dijual ke Eropa. Dia kerap kali bercerita soal pengalaman traveling-nya. Dalam satu tahun, dia hanya menetap dinegaranya selama 3-4 bulan. Selebihnya, dia gunakan untuk tinggal di Bali, Fidji, Maldives, Philiphine, dll.
Kenapa saya menceritakan seorang mantan dan seorang sahabat, karena keberadaan mereka penting dalam tulisan saya kali ini. Mantan saya, sebut saja Gema adalah seorang mahasiswa (sama seperti saya) yang cita-citanya jadi jurnalis.Â
Sedangkan Vlad, sahabat saya, adalah seseorang yang menajamkan kritisisme saya, utamanya dalam mengkritisi kapitalisme dan segala bentuk informasi yang di unggah di beratus-ratus platform media dengan isi yang sama.
Dan mungkin yang juga penting untuk saya tulis kali ini adalah pengakuan kebiasaan saya yang konsumtif dan gampang sekali terprovokasi untuk mengeluarkan isi dompet. beruntung saya cuma impulsive pas belanja buku saja. Singkat cerita, satu buku yang menjadi tindak lanjut kritisisme saya yang sudah terlanjur disulut oleh Vlad adalah Communication Power by Castells.
Tulisan ini bukanlah resensi buku atau book review. Apa yang saya curahkan lewat tuisan ini, murni karena adanya pertanyaan yang saya buat menjadi judul tulisan ini, yakni : Adakah Ruang Bagi jurnalis Idealis di Dunia yang Kapitalis?
Semoga pembaca tidak bosan dengan gaya penulisan artikel yang eksperimental yang saya sedang kembangkan berlandaskan kesewenang-wenangan. Saya sendiri ragu apakah pembaca akan menilai bahwa ini adalah tulisan fiksi, non-fiksi atau faksi. Tapi tentu yang saya harapkan adalah informasi yang berguna, tapi sebelum digunakan mohon untuk dikritisi terlebih dahulu dengan cara yang baik. Agar kita berdialektik.
Belum setengahnya buku selesai saya baca, terkadang saya memutuskan tidak akan menyelesaikannya. Buku tersebut tidak terlalu coccok buat saya. Bahasanya yang berat, penuh dengan jargon IT, jaringan, dan ilmu komunikasi.Â
Namun bayangan Vlad dan Gema memotivasi saya melanjutkan membaca. Tak jarang bacaan tersebut bikin saya ngalamun tarik. Chapter per chapter saya selesaikan, tidak hanya bermodalkan pikiran kosong, namun dipersenjatai dengan pensil, buku catatan dan laptop agar usaha membaca tidak sia-sia, saya selalu mempersenjatai diri saya dengan alat-alat tersebut.Â
Terimakasih Gema, yang masih sering lihat story saya di IG dan Vlad yang gak capek-capek nawarin tiket gratis, mengundang saya datang ke Bali dan Fidji namun sering saya tolak karena saya lebih senang bekerja daripada berlibur (pengeluaran berlibur lebih banyak daripada bekerja).
Media global (berbasis internet dan switched network) dan media lokal tradisional, menurut hemat saya adalah bentuk  industri kapitalis yang sangat nyata dan sempurna. Melihat strategi serta sejarah jaringan dari mulai NSFNET (saat internet masih di pergunakan terbatas untuk kepentingan pemerintah dan edukasi) sampai privatisasi terjadi di tahun 90s.
Ada konflik menarik saat perseteruan antara kaum liberalis mempersuasi pemerintah untuk meliberalisasi penggunaan internet yang ujung-ujungnya menjadi privatisasi, dan BOOM! menggunakan issue 'internet untuk rakyat', Â jadilah internet lapak mereka para pemodal. Seperti biasa saya enggan menilai apakah ini baik atau buruk. Dampaknya selau terletak diantara dua kutub pasti, seperti hukum alam. Positif negatif.
Mari melompat ke inti, menjawab pertanyaan mengapa media menjadi korporasi yang sangat terkapitalisasi atau sangat kapitalistik. Bicara soal kapitalisme itu bicara soal duit yang dijadikan capital (modal) yang mem-privelege mereka para pemodal juga memiliki kekuasaan untuk mengakuisisi sebuah korporasi yang lain atau membangkrutkan UMKM atau supaya relevant dengan tulisan saya, platform media kecil.
Media merupakan suatu segment dimana praktik monopoli melalui akuisisi terjadi dan menjadi hal yang mutlak dilakukan (Castells, 2013). Tawaran akuisisi atau bangkrut benar-benar menjadi dua opsi yang tidak bisa dielak (Castells, 2013). Pembagian keuntungan menjadi hal yang prinsipil dalam bisnis, dan tawarannya hanya dua: berbagi atau gulung tikar. Naasnya, yang bisa menawarkan adalah mereka pemilik korporasi dengan modal besar. Pemilik usaha kecil hanya menerima tawaran dengan posisi tawar yang kurang baik (saya pikir).
Yang patut diacungi jempol adalah transisi media infotainment tradisional mendistribusikan konten global, semenjak ada internet. Dan sampai sekarang, media berbasis jaringan internet jelas lebih digandrungi masa.Â
Tiap-tiap individu seringkali mengakses informasi berupa berita harian dari YouTube, bukan dari saluran TV. Oleh karena itu menjadi penting bagi saluran TV manapun untuk mengakses platform YouTube atau platform lainnya.  Sampai saat ini, setelah jaringan terotomatisasi melalui akuisisi dan sharing informasi, media sudah tidak perlu membuka pasar atau menciptakan pasar.Â
Mereka sendiri adalah pasar yang dimiliki oleh masa. Dengan brilliant mereka sudah melalui tahap itu. Adapun tahap selanjutnya yang terus dilakukan dan dipertahankan adalah penganekaragaman konten, yang mana hal ini tidak bisa sewenang-wenang diputuskan. Disini censorship berlaku. Menyesuaikan dengan nilai-nilai lokal yang biasanya diregulasi oleh negara.
Media is the most sustainable market (Castells, 2013). Sustainabilitas ini tidak mungkin terwujud tanpa deregulasi yang di dukung oleh IMF pada tahun 1995 (Castells, 2013). Deregulasi disini menciptakan privatisasi yang semakin nyata. Saya yakin pembaca paham cara yang biasa digunakan IMF untuk menderegulasi kebijakan. Tentu IMF selalu menderegulasi kebijakan pihak lain dengn memberlakukan kebijakannya sendiri yang berlogika untung-rugi.
Dari sini saya bisa menyimpulkan bahwa dalam tahap kepemilikannya, media memang sangat liberal, karena logika yang dipakai adalah logika bisnis antar media platform. Namun dalam tahap pendistribusian konten, media sangatlah rigid terhadap nilai-nilai lokal tempat media yang paling spesifik bercokol. Misal: CNN Indonesia tidak bisa sewenang-wenang mendistribusikan konten yang tidak sejalan dengan nilai-nilai  yang berlaku di Indonesia, sekalipun CNN sangatlah independen (media korporasi milik Amerika), tetap pendistribusian informasi tidak bisa menghilangkan respect terhadap reguasi lokal yang berlaku.Â
Maka dari itu, 'Glocal' menjadi motto media yang memang terimplementasikan dengan baik. Glocal : Think Global, Act Local. Dan strategi Glocal menjadi strategi mutlak yang di adopsi oleh para market expander di berbagai ranah bisnis, yang mana semua itu secara tersirat maupun tersurat mengadung arti adaptabilitas dan kompatibilitas sebuah tindakan.
Dan kesimpulan terakhir untuk menjawab judul yang saya tulis sendiri yang mana ini sangat subjektif berdasarkan pemahaman objektif: Berdasarkan prinsip penganekaragaman konten yang menjadi strategi media untuk mendapatkan profit, idealisme seseorang bisa menjadi bahan jualan mereka. Artinya ada saja ruang.Â
Namun apakah informasi dari jurnalis akan tersampaikan pesannya dengan baik terhadap para konsumen informasi, tentu ini bukan jurnalis sendiri yang menentukan, melainkan karakteristik media itu sendiri, serta nilai-nilai yang berlaku di ujung jaringan. Selama idealisme kita menguntungkan para pemilik modal, tentu, ruang akan selalu tersedia.
Untuk Gema, mantan saya yang bikin saya gregetan bukan main.
Untuk Vlad, sahabat yang dengan gigih berusaha tidak terbawa arus kapitalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H